Sunday, July 1, 2007

Eduard Douwes Dekker @ Multatuli


Max Havelaar oleh Multatuli


Eduard Douwes Dekker (1820-1887), penulis roman kontroversial Max Havelaar yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah bertugas di Natal sebagai controleur kelas dua. Multatuli dalam bahasa Latin bererti "Aku telah banyak menderita". Douwes Dekker hanya berdinas satu tahun di Natal. Sewaktu dia sampai di Natal , Douwes Dekker masih muda, umarnya kira-kira 20 tahun. Dalam novelnya Max Havelaar, diceritakan kisah percintaannya dengan Upik Ketek yang waktu itu baru berusia 13 tahun, putri seorang datuk yang sering berurusan dengan Douwes Dekker.

Douwes Dekker bertemu dengan Upik Ketek pertama kali pada tahun 1842, ketika terjadi kecelakaan di laut di mana Douwes Dekker menyelamatkan gadis itu dari bahaya maut. Ketika itu dia baru saja menepati posnay di Natal. Di Tanjung Balai yang terletak di sebelah utara Natal terdapat perkebunan lada yang luas. Seperti kita ketahui, lada merupakan barang dagangan maha penting bagi Belanda dan Inggris pada masa itu. Sebenarnya dia tidak begitu senang dengan pekerjaannya, apalagi dia masih awam dalam masalah lada dan perkebunan. Tetapi tugas itu dilakukannya juga. Oleh karena itu dia sering meminta bantuan seorang datuk yang mengerti masalah lada dan perkebunan. Dalam melakukan tugasnay, datuk sering ditemani oleh putrinay, Upik Ketek. Melalui kehadiran Upik Ketek inilah hati Douwes Dekker yang gundah dapat terobati.

Di Natal, Douwes Dekker kerapkali menyaksikan bagaimana pemerintah Belanda menindas penduduk setempat. Perasaan keadilannya tersentuh sehingga dia ingin membela orang-orang yang tertindas tersebut. Di kemudian hari, pengalaman batin yang dialaminya itu yang didapat di berbagai tempat di Indonesia, dimulai dari Natal, Sulawesi Utara dan Jawa Barat, dituangkanya dalam buku Max Havelaar. Diceritakan pula tentang pelabuhan Natal yang tidak dapat “disinggahi” perahu pada bulan Juli, karena angin kencang. Dia beberapa kali mengusulkan kepada atasannya untuk membangun dinding penahan ombak atau membuat pelabuhan buatan di muara sungai Batang Natal agar perdagangan dapat berjalan lancar sepanjang tahun, sehingga setengah juta penduduk di pedalaman tetap dapat menjual hasil bumi mereka, walau musin badai tiba. Tentu saja atasannya tidak setuju, dengan maksud Douwes Dekker yang hendak memperbaiki taraf hidup penduduk. Dia dicaci maki.

Kadang kala, Douwes Dekker harus bepergian ke tempat-tempat yang jauh dari Natal, seperti ke Barus, Tapus dan Singkel di utara. Daerah-daerah tersebut belum lagi aman ketika baru dikuasai Belanda karena masih terpengaruh perang Padri, apalagi daerah kediaman orang Batak yang benar-benar kacau dan banyak menimbulkan dampak buruk bagi Natal. Kendaraan Douwes Dekker ketika itu hanyalah kuda, sehingga perjalanan menjadi sangat lambat. Selama dalam perjalanan, dia selalu tidur dengan pakaian lengkap agar selalu siap menghadapi keadaan darurat, lagi pula ketika itu terdengar desas-desus tentang adanya komplotan yang hendak membunuh pejabat Belanda dan semua bangsa Eropah di Mandailing. Konon, awal pergerakan tersebut terjadi di Natal karena di sana banyak tinggal orang-orang kulit putih. Apakah peristiwa itu benar-benar pernah terjadi, tidaklah dapat dipastikan karena Douwes Dekker hanya membaca keterangan-keterangan tertulis dari saksi-saksi.

Karena adanya pengkhiantan, komplotan yang dipimpin oleh Yang Dipertuan Mandailing terbongkar. Pemimpinnya ditangkap dibawa ke Padang dan dianggap sebagai penjahat yang bersalah terhadap Belanda. Anehnya, Yang Dipertuan Mandailing tidak diperiksa di sana, tetapi dibawa ke rumah pejabat tinggi Belanda dengan kereta kebesaran. Tak lama kemudian dia dikembalikan ke kampung halamannya.

Di antara pemuka-pemuka masyarakat di daerah Mandailing dan Natal sering terjadi perang dingin yang dimanfaatkan oleh Belanda untuk kepentingannya. Douwes Dekker sering melihat proses peradilan yang curang dan kecurangan lainnya yang dilakukan oleh pemerintah Belanda yang mencelakakan penduduk, sehingga dia semakin tidak suka menjalani sisa masa dinasnya. Sebagai contoh, dia menyebutkan kasus si Pamaga.

Si Pamaga, anak angkat Sutan Salim didakwa mencoba membunuh Tuanku Natal dan controleur Belanda di Natal. Menurut cerita, percobaan pembunuhan yang tidak berhasil itu terjadi di rumah Yang Dipertuan Mandailing. Tuanku Natal terlempar dari jendela sehingga terlepas dari bahaya maut. Si Pamaga melarikan diri dan bersembunyi di hutan, tetapi dia ditangkap polis Natal. Dalam pemeriksaan, Si Pamaga mengaku diupah oleh Sutan Adam. Hukuman berat lalu dijatuhkan kepada Si Pamaga. Dia dibuang ke Jawa atas perintah Residen Belanda. Kelak diketahu, Si Pamaga belum pernah bertemu, baik dengan Sutan Adam maupun dengan abang/kakaknya, Yang Dipertuan Mandailing. Dia jgua tidak pernah menyerang Tuanku Natal dan Tuanku Natal pun tidak pernah terlempar dari jendela untuk menghindari seorang pembunuh. Dia terpaksa membuat pengakuan ini oleh para pejabat Belanda.

Pada pertengahan tahun 1843, Douwes Dekker dipangil menghadap Jenderal Michiels, Gubernur Belanda saat itu, di peristirahatannya di Padang. Dia langsung dimarahi dan dicaci maki sebagai pegawai yang tidak setia karena menggelapkan uang dinas. Dia juga dituduh memeras beberapa orang Cina dan tokoh pribumi serta sejumlah serdadu Belanda di Natal. Selain itu Douwes Dekker dianggap congkak dan sering meninggalkan posnya pada saat diperlukan. Douwes Dekker tidak dapat membela diri karena Gubernur tidak berminat mendengarkan keterangannya. Dia juga tidak diinjinkan menghadirikan saksi-saki untuk membuktikan, bahwa tuduhan Gubernur tidak benar. Selanjutnya, dia diskors dan tidak diperbolehkan kembali ke Natal. Untuk sementara, dia diperbantukan kepada residen Padang. Kemudian dia dipindahkan lagi ke pegunungan sampai pemeriksaan perkaranya selesai. Yang lebih menyakitkan hatinya, gajinya hanya dibayar separuh. Pada bulan Ogos/Augustus tahun 1843, dia dikirim ke Batavia (Jakarta hari ini).

Kemudian, kepada Douwes Dekker yang masih mudah itu diserahi tanggungjawab yang besar dan berat. Dia harus mengatur dan menjaga keamanan di daerah jajahan yang belum lama diduduki oleh Belanda seperti Lebak, Rangkas Bitung di wilayah Jawa bahagian barat. Mengapa bisa terjadi demikian? Mungkin itulah yang dimaksud oleh Douwes Dekker sebagai “permainan tingkat atas.”

Puncak pengamatannya terhadi di Lebak. Dia melihat sendiri, bagaimana Belanda, Bupati dan sanak saudara mereka bersama-sama memeras rakyat. Sama seperti di Natal, dengan terus terang Douwes Dekker menentang kebijaksanaan atasannya. Akibatnya, pada tahun 1856, dia diberhentikan dari jabatannya. Dia lalu diajukan ke pengadilan dan kalah dalam perkara. Douwes Dekker lalu dipulangkan ke Eropah.

Di Eropah, Douwes Dekker tidak bisa “menutup mulut” terhadap ketimpangan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda. Dia menulis ketimpangan tersebut dalam sebuah novel yang berjudul Max Havelaar yang diterbitakan pada tahun 1860 dengan menggunakan nama samaran Multatuli. Novel karangannya sangat laris dan menggemparkan masyarakat tetapi tidak disukai oleh kalangan pemerintah di sana. Walaupun Douwes Dekker menjadi terkenal karena buku-bukunya, dia hidup dalam kemiskinan dan mati tersia-sia di negerinya sendiri.

Novel Max Havelaar telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Karya tulis tersebut sangat populer di kalangan cendekiawan dan tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia sebelum perang dunia kedua. Anehnya, terjemahan dalam bahasa Indonesia baru terbit pada tahun 1972 yang dialih-bahasa oelh H. B. Jassin.

Tapak Gedung Pusat Kesehatan Masyarakat di Natal pernah menjadi tempat kediaman Douwes Dekker sewaktu dia menjadi controleur (pegawai pemerintah Belanda tertinggi) di daerah itu. Sangat disayangkan gedung aslinya telah dibongkar semata-mata karena bangunannya sudah tua dan di atas tanah kosong tersebut didirikan gedung yang baru. Kalau gedung itu masih ada, ia bisa dijadikan tarikan pariwisata di Natal.

2 comments:

romi citra asmara said...

saya dah membaca teromobo nagari natal dan Lingga bayu enggak ada nama Iblis klo itu memang nama anda tolong beritahu siapa angku ,ucim atau buyt anda biar bisa diliat benang merahnya

romi citra asmara said...

saya dah membaca teromobo nagari natal dan Lingga bayu enggak ada nama Iblis klo itu memang nama anda tolong beritahu siapa angku ,ucim atau buyt anda biar bisa diliat benang merahnya