Wednesday, September 19, 2007

Jeruk Sibanggor di Mandailing Kini Hampir Punah

Jeruk Sibanggor Mandailing Natal Kini Hampir Punah

Panyabungan, Kompas - Jeruk sibanggor yang memenangkan beberapa kali lomba buah tingkat nasional, keberadaannya kini hampir punah. Jeruk lokal dari lereng Gunung Sorik Merapi, persisnya di Desa Sibanggor, Kecamatan Tambangan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, itu hancur karena terserang penyakit dan hama yang tak mampu ditanggulangi petani.

Di tiga desa asal jeruk itu, yaitu di Desa Sibanggor Julu, Sibanggor Tongah, dan Sibanggor Jae, pohon jeruk sibanggor kini sudah sulit ditemui. Saat Kompas ke Sibanggor, Rabu (11/5), hanya bisa menemukan beberapa batang pohon yang tak terawat lagi. Sebagian tanaman tinggal pokok pohon setinggi setengah meter, terlihat bekas ditebang. Sebagian petani di sana mengganti tanaman jeruk dengan coklat dan karet.
Sejumlah petani yang ditemui mengaku enggan lagi mengurus tanaman jeruk karena banyaknya penyakit. Pohon jeruk yang rata-rata memiliki ketinggian sekitar 3-5 meter itu kondisinya menyedihkan. Beberapa pohon memang terlihat berbuah, namun buahnya sangat kecil dan busuk. Padahal, dulu jeruk sibanggor besar-besar dan rasanya khas sehingga memenangkan berbagai lomba buah tingkat nasional.

Basaruddin Nasution, Ketua Kelompok Tani Suka Mulia Desa Sibanggor Julu, mengatakan, berbagai penyakit menyerang batang dan hama menyerang buah jeruk Sibanggor sejak lima tahun terakhir ini, dan keadaannya kian parah dari tahun ke tahun.
Penyakit yang menyerang tanaman, menurut Basaruddin, di antaranya virus CVPD, jamur merah, dan jamur api. Serangan berbagai penyakit itulah yang menyebabkan banyak tanaman kering dan mati. Adapun hama yang menyerang pada buah, yaitu lalat buah yang menyebabkan buah membusuk sehingga tak laku dijual.

Basaruddin mengatakan, petani telah mencoba mengobati tanaman yang sakit dengan berbagai fungisida maupun pestisida, namun serangan penyakit tetap tidak teratasi.
"Di samping terserang penyakit, jeruk sibanggor juga kebanyakan sudah tua dan butuh penanaman kembali. Namun, di sini tidak ada pembibitan sehingga tanaman jeruk yang tua dan mati tidak ada penggantinya. Beberapa tahun lagi, jeruk sibanggor ini mungkin akan musnah," katanya.

Areal terus menyusut

Basaruddin mengatakan, pada masa jayanya, yaitu sekitar sepuluh tahun silam, hampir semua warga di desanya memiliki tanaman jeruk sibanggor. Luas area tanam jeruk sibanggor di Desa Sibanggor Julu saat itu diperkirakan mencapai lebih dari 100 hektar. Total luas areal tanam jeruk Sibanggor di tiga desa mencapai 250 hektar. Pada tahun 2001, jeruk sibanggor masih memenangkan lomba buah tingkat nasional di Jakarta.

"Kejayaan jeruk sibanggor sudah habis. Kini, kalau ditotal luas lahan yang ditanami jeruk tidak akan sampai satu hektar. Sebagian petani kini beralih menanam coklat dan karet yang lebih menjanjikan," katanya.

Pada tahun 2003, menurut Basaruddin, desanya mendapat bantuan bibit jeruk siam dari Dinas Perkebunan Mandailing Natal yang ditanam di areal seluas 25 hektar. Namun, ribuan batang jeruk tersebut juga terserang penyakit. (aik)

http://kompas.com/kompas-cetak/0505/13/sumbagut/1747365.htm

Safari Ramadhan Taman Nasional Batang Gadis

Safari Ramadhan Taman Nasional Batang Gadis

Ramadhan memang bulan yang paling baik di antara semua bulan. Bukan hanya penuh berkah, Ramadhan juga merupakaan momen yang sangat pas untuk menyebarkan pesan konservasi dari sudut pandang Islam. Terlebih untuk daerah yang mayoritas penduduknya memeluk Islam.

Atas dasar itulah kami mengadakan acara safari Ramadhan di seputar kawasan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG). Kami pun urun rembuk untuk menyatukan visi dan mencari cara yang enak dalam menyampaikan pesan konservasi ini ke masyarakat.

Kegiatan ini dimulai dari desa sasaran, kami sepakat untuk menuju desa-desa yang berbatasan dengan TNBG. Tetapi ada 68 desa yang berbatasan langsung dengan TNBG, maka kami pun memilih desa yang relatif mudah di jangkau dan punya konflik yang tinggi. Tak hanya itu kami pun berencana untuk menjadi satu tim dengan Dinas Kehutanan Mandailing Natal (Madina) yang memang punya agenda yang sama: sosialisasi TNBG. “Kolaborasi dengan Pemda Madina,” ucap Edy Hendras, Education Specialist Conservation International Indonesia.

Berbekal tekad baja dan semangat juang yang tinggi kami pun berangkat menuju Madina dari Medan pada 27 Oktober sekitar pukul 21.00 WIB. Perjalanan memakan waktu sekitar 12 jam. Tim pertama terdiri dari lima personil (Edy Hendras, Affan Surya, Diah R.S plus dua relawan (volunteer): Ferdinand dan Arma). Sedangkan tim kedua: Abdul Hamid dan Agus (relawan) menyusul kemudian.

Tak terasa, waktu sahur pun tiba. Kami segera mencari warung makan yang menyediakan makan sahur. Beruntung, masih ada warung makan yang buka di Tarutung. Usai santap sahur, perjalanan dilanjutkan.

Semburat merah mentari pagi yang menyembul dari ufuk timur mengiringi perjalanan kami. Lanskap ciamik khas Sumatera (bukit dan pegunungan) seperti tak lepas mata memandang. Tak terasa akhirnya kami tiba di kantor CII di Panyabungan pukul 11.00 WIB. Badan terasa “remuk” dan penat, tanpa komando masing-masing personil langsung “kabur” mencari peraduan nan empuk dan nyaman. Sorenya, saya dan Edy Hendras menyempatkan diri bertemu Pak Cardi, staf Dinas Kehutanan Madina untuk membahas rencana esok hari.

TNBG Punya Siapa?
Keesokan harinya, 29 Oktober, kami memulai acara pemberian materi ke Desa Sibanggor Julu. Dengan didampingi dua orang ustadz dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan Dinas Kehutanan Madina kami segera pergi menuju desa sasaran. Layaknya hari Jumat, para laki-laki wajib menunaikan ibadah shalat Jumat, momen inilah yang dipakai untuk menyampaikan materi TNBG.

Usai shalat Jumat disepakati untuk ceramah tentang Perda 5, 6 dan 7 kemudian disambung materi TNBG. Sayangnya, hanya para lelaki yang mengikuti ibadah Jumat ini, kaum hawa desa hanya mendengar ceramah dari bagian luar masjid saja. Kali ini Kang Edy - sapaan akrab Edy Hendras - yang kebagian job, memberikan materi TNBG.

Ada pertanyaan yang menarik sekaligus menusuk dari masyarakat: “TNBG ini sebenarnya punya siapa ? punya Madina, Sumatera Utara, Indonesia atau ada tekanan dari Amerika?” Dijelaskan oleh Kang Edy, TNBG ini jelas punya masyarakat Madina. Karena masyarakat Madina lah yang terkena dampak langsung jika hutannya habis. Sedangkan masyarakat di Medan hanya dapat melihatnya dari tayangan televisi saja.

Ada pula pertanyaan tentang pergantian tanah, sebab mereka punya kebun karet di dalam taman nasional. Dijelaskan bahwa bila memang punya kebun di dalam taman nasional tak bakal disita oleh pemerintah. Tetapi justru yang paling penting masyarakat tak menebang pohon di sekitar taman nasional. Tak ketinggalan, dijelaskan pula kepada masyarakat bahwa taman nasional ini hanya sebagai perubahan status saja dari hutan lindung dan masyarakat tetap boleh beraktifitas di dalamnya. Mengapa hal ini patut dijelaskan? Ternyata, masih banyak masyarakat yang beranggapan perubahan status hutan akan menghambat akses mereka ke dalam hutan. Padahal, gantungan hidup mereka ada di dalam hutan.

Pada 30 Oktober, kami pergi ke Desa Aek Nangali. Desa ini menjadi kemah induk (base camp) saat dilakukan survei biodiversitas beberapa waktu lalu. Di dalam hutan di wilayah Aek Nangali masih banyak terdapat satwa langka seperti harimau Sumatera, tapir dan kucing hutan. Pada hari ini, tim mulai bergerak sekitar pukul 11.30 WIB. Tim melewati Masjid Jami Sopotinjak. Sayang, tim gagal bertemu dengan Kepala Desa Sopotinjak. Kepala desa tak bisa ditemui lantaran hari pekan (hari pasar). Meski tak berjumpa kepala desa, tim tetap meninggalkan jam dinding yang bertuliskan TNBG di Masjid Jami’ Sopotinjak.

Perjalanan diteruskan menuju desa Aek Nangali. Di sini, tim bertemu Kepala Desa Sundut Dalimunthe. Tim menyampaikan poster “Hutan Hilang Bencana Datang” dan poster “TNBG”. Perjalanan dari Panyabungan ke Aek Nangali memakan waktu sekitar 2 jam.

Jika ingin melihat Camp Rangkuti – tempat merupakan bekas HPH kita harus meneruskan perjalanan sekitar 30 menit. Yang pasti, kita harus memakai mobil bergardan ganda untuk menempuh perjalanan tambahan ini. Maklum, medan yang dilalui bukanlah jalur aspal mulus, melainkan lintasan berbatu-batu dengan beberapa lubang besar.

Minggu 31 Oktober. Tim dibagi menjadi dua. Pertama, tim Mawas (Sulis, Hamid, Ferdinand, Agus) berkunjung ke Hutabargot Nauli, menemui Kepala Desa. Desa ini merupakan wilayah dengan konflik tertinggi karena hampir semua mata pencaharian penduduk adalah penebang kayu.

Setelah bertemu, tim memberikan poster dan jam dinding dua buah. Satu untuk dipasang di rumah kepala desa dan satu jam dinding untuk dipasang di mushalla. Pada pertemuan ini direncanakan untuk melakukan putar film. Namun soal waktunya belum ditentukan karena harus meminta surat dari dinas kehutanan.

Dalam pertemuan tersebut muncul beberapa pertanyaan. Tim Mawas bertanya, “Apakah perlu ijin dari pemuka adat?” Menurut kepala desa hal tersebut tak diperlukan. Cukup mendapat ijin dari kepala desa saja.

Obrolan terus berlanjut. Kepala desa bertanya, “Apakah taman nasional ini cuma di sisi kiri- kanan sungai Batang Gadis saja?” Tim menjelaskan bahwa taman nasional adalah kawasan hutan di sekitar Madina dan batasnya pun belum ada karena belum ada penentuan batas dari Badan Planologi Departemen Kehutanan.

Kepala desa juga menanyakan perkembangan camera trap yang dipasang pada waktu survei biodiversitas. Tim menerangkan bahwa survei tersebut menghasilkan beragam data tentang kekayaan alam Mandailing Natal, dari flora hingga fauna. Dijelaskan pula di wilayah hutan Madina masih terdapat harimau, tapir, rusa dan lain-lain. Disampaikan juga poster TNBG dan Inform.

Pada saat yang sama tim kedua Kang Edy, Affan dan dua relawan -Arma, Safrin- menuju Desa Batahan. Namun, karena lokasi jalan jelek (turun hujan dan licin) maka tim hanya sampai ke Desa Pagar Gunung. Begitu bertemu kepala desa, tim memberikan poster dan jam dinding untuk dipasang di rumah kepala desa dan mushalla. Penerimaan masyarakat terhadap tim ini sangat baik. Masyarakat sangat terbuka terhadap pendatang.

Tim melanjutkan kegiatan dengan memutar film di sebuah desa,katakanlah desa x pada Rabu, 3 November. Tim dengan kekuatan penuh (dua tim) tiba di desa sekitar pukul 18.00 WIB dan langsung menuju ke rumah kepala desa.

Sambil menunggu waktu berbuka puasa, tim mengadakan obrolan santai. Begitu waktu berbuka tiba, tim segera menikmati makanan yang dihidangkan oleh kepala desa. Menunya, ikan gulai dan sambal. Berikutnya, shalat maghrib berjamaah di masjid di sambung dengan shalat isya dan tarawih. Usai tarawih 23 rakaat, dilanjutkan dengan pemutaran film.

Sebelumnya kepala desa sudah menyiapkan lokasi berupa tenda biru tetapi karena hari turun hujan maka lokasi pemutaran film dipindah ke madrasah Tsanawiyah Islam.

Pemutaran film dimulai pukul 21.30 WIB, pengunjung mulai berdatangan. Jumlah pengunjung diperkirakan sekitar 200 orang. Dimulai pembukaan oleh kepala desa dan diteruskan dengan ceramah agama. Ceramah ini bertemakan konservasi alam dengan penciptaan Allah SWT.

Sebelumnya diadakan diskusi di warung kopi yang di sampaikan oleh Hamid yang menjelaskan TNBG. Setelah ceramah agama di teruskan oleh penyampaian informasi oleh Pak Cardi –staff dinas kehutanan Madina- informasi ini berupa taman nasional, keanekaragaman hayati dan lain-lain.

Dari situ, muncul pertanyaan, seperti manakah batas-batas taman nasional? Jika taman nasional ini menyengsarakan masyarakat diharapkan pemerintah daerah mau meninjau ulang. Jangan sampai taman nasional ini mengurangi lapangan pekerjaan anak cucu kami dan manakah wilayah taman nasional, apakah pegunungan yang di sekitar sungai Batang Gadis saja?
Pertanyaan tersebut dijawab lancar oleh Pak Cardi bahwa batas-batasnya belum di tentukan. Nantinya ada tim tersendiri yang menentukan batas wilayah taman nasional.

Dari analisis pertemuan ini, banyak masyarakat yang khawatir dengan adanya taman nasional. Sebab, beberapa orang di desa tersebut punya ladang atau sawah di dalam hutan yang sudah di buka.

Dari obrolan dengan masyarakat diketahui bahwa desa ini mata pencaharian utama (bagi pemuda) adalah mengambil kayu. Tetapi hanya sebagai pembawa kayu dari hutan ke bawah sedangkan orang yang memotong kayu dengan chainshaw kebanyakan berasal dari Besitang. Ongkos membawa kayu satu balok (ukuran empat meter) Rp 3500. Satu kali jalan bisa membawa 3 balok. Harga jual balok tersebut sekitar Rp. 12.500. Pengumpul balok adalah penduduk lokal juga.

Dalam satu minggu, sedikitnya empat mobil bak terbuka (jenis pick up) mengambil kayu dari desa tersebut. Itu jika tidak musim penghujan. Jika musim penghujan hanya ada satu mobil bak terbuka yang jalan. Ternyata, hasil penjualan kayu ini disisakan untuk kemajuan desa. Ada satu orang yang ditunjuk sebagai koordinator dana untuk desa tersebut.

Dalam satu bulan, mereka bisa mengumpulkan sekitar Rp 30 juta (dibagi dalam 5 desa, jadi satu desa mendapat 6 juta). Biasanya masyarakat menyebutnya dengan bunga desa. Koordinator bunga desa ini kerap berganti karena beberapa kali terjadi kasus korupsi dan uangnya dilarikan. Terkadang hasil dari bunga desa dilaporkan tidak sesuai dengan semestinya, misalnya dapat 25 juta yang dilaporkan hanya ada 15 juta, atau balok kayu yang di dapat tidak terhitung dalam pajak bunga desa.

Dari informasi tersebut juga didapatkan bahwa sudah ada dua korban meninggal akibat kegiatan illegal logging ini. Satu orang tertimpa kayu. Satu orang lagi terkena chainshaw. Hati kami cukup kebat-kebit juga takut terjadi sabotase dari pihak-pihak tertentu, tapi syukurlah sampai akhir acara tak ada suatu kejadian yang menggangu.

Pada Kamis 4 November, tim berkunjung ke rumah kepala desa Sibanggor Tonga, Sayuti Nasution. Tim disambut ramah oleh Kepala Desa Sayuti. Tim berjanji untuk berbuka puasa di rumah Sayuti pada Jumat sore, maka diputuskan memberikan sedikit dana untuk menyediakan hidangan berbuka.

Hari berikutnya, Jumat 5 November. Tim pergi ke Desa Sipogu dan Bangkelang. Sebelum ke Desa Sibanggor Tonga, tim terlebih dahulu mengunjungi desa Sipogu dan Bangkelang.
Tim terbagi menjadi dua: desa Sipogu dan Bangkelang. Tim ditemani dua orang ustadz dari MUI. Di Desa Sipogu, setelah shalat Jumat, diadakan ceramah oleh MUI tentang perda 5,6 dan 7. Setelah itu tim CII mengisi ceramah berupa materi tentang taman nasional.

Tampak konsep taman nasional ini memang belum dipahami oleh masyarakat, termasuk di desa Sipogu ini. Ada pertanyaan menarik bahwa taman nasional ini akan mempersempit ruang usaha masyarakat, karena sebagian wilayahnya masuk ke dalam taman nasional. Dijelaskan bahwa taman nasional tidak akan mempersempit usaha masyarakat karena jika ada kebun karet atau lainnya yang terletak di dalam taman nasional bukan berarti tidak dapat di masuki lagi oleh masyarakat.

Terjebak longsor
Sore harinya kami terbagi dua tim: yang pertama langsung menuju Desa Sibanggor dan yang kedua mengantar ulama pulang ke Panyabungan. Usai mengantar ulama, tim kedua segera kembali berangkat ke desa Sibanggor Tonga. Sialnya di tengah jalan, tim kedua dihadang bencana tanah longsor sehingga perjalanan menjadi terhambat dan kebetulan saat itu hujan turun dengan sangat derasnya.

Seluruh anggota tim kedua terpaksa buka puasa di jalan, karena jalan belum dapat terlewati. Buka puasa pun dengan menu ala kadarnya. Akhirnya dengan gotong royong (karena ada beberapa angkutan di belakang tim kedua ini) maka tanah longsor tersebut bisa diatasi. Begitu tiba di rumah kepala desa, tim pertama telah menunggu dengan perasaan cemas dan seluruh baju anggota tim kedua basah.

Lantaran hanya berbuka dengan menu seadanya, anggota tim kedua segera menyantap hidangan yang disuguhi keluarga Kepala Desa Sayuti . Usai bersantap malam, hujan tak kunjung reda. Itu sebabnya, tim memutuskan untuk menggagalkan pemutaran film, karena masyarakat juga enggan keluar rumah. Selain hawa dingin, kebetulan satu itu terjadi pemadaman listrik sehingga seluruh kampung gelap gulita. Setelah bercakap-cakap, tim kembali ke kantor CII.

Pada 6 November, Hamid dan tim menuju desa Pagar Gunung untuk memutar film, masyarakat sangat antusias sekali karena mereka memang butuh hiburan. Setelah banyak masyarakat yang berkumpul film pun disiapkan. Tunggu punya tunggu film tak nampak di layar. Ternyata, LCD yang biasa digunakan rusak. Akhirnya tak mau digagalkan, kepala desa pun berinisiatif menggunakan televisinya. Walhasil televisi 14 inchi itu dipelototi oleh ratusan mata yang ingin melihat jelas film yang diputar. Walaupun tak melihat secara jelas masyarakat masih mendengar jelas lewat pengeras suara dan sambutan masyarakatpun sangat luar biasa.

Itulah pengalaman kami di seputar acara Safari Ramadhan. Acara ini sudah membuat kami mengetahui sedikit potret desa yang akan menjadi “sasaran” tim awareness NSC. Selesainya acara ini bukan berarti selesai pekerjaan kami. Ibaratnya kami baru saja menapakkan kaki. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus segera dibenahi. Semoga saja! (Diah Rahayuningsih S)

http://www.conservation.or.id/tropika.php?catid=36&tcatid=136&page=g_tropika.index