Friday, July 13, 2007
Jelajahi Rimba Batang Gadis
Jelajahi Rimba Batanggadis
SH/bayu dwi mardana
Penentuan titik menarik di rimba Batanggadis.
BATANGGADIS – Rimba alami Batanggadis selalu menarik gairah petualangan siapa saja. Dengan bentang alam cukup lengkap—hutan hujan dataran rendah perbukitan, hutan pegunungan rendah dan hutan pegunungan tinggi—Batanggadis menyimpan keanekaragaman hayati cukup tinggi. Jadi penjelajahan pun dimulai dari sini.
”Stop! Stop, Bang!” seru Diah Rahayuningsih (26) memecah keheningan. Lengkingan suaranya jelas mengejutkan seisi mobil. Edi, supir perjalanan kami, segera memarkir mobil di tepi jalan. Seperti tak mau kehilangan waktu, Diah segera menyeruak keluar.
”Pelan-pelan, ya…. Coba itu lihat di pucuk dahan pohon buah,” bisik dara yang akrab disapa Sulis itu. Di sebelahnya, Ahmad Zulkani segera membidikkan kamera digital. Sedikit disimak lewat layar LCD, wartawan Kompas itu pun segera mengabadikan gambar. Tak lama ia tersenyum puas.
Ahmad pantas berbangga sebab posisi sepasang Rangkong di pucuk dahan tergolong langka. Apalagi sepasang burung rangkong (hornbill) yang sedang bercumbu itu cuma bertengger beberapa menit saja. Agaknya kedatangan membuat mereka merasa ”risih”. Maklum, karena jarang melihat kejadian ini kami sedikit ribut saat keluar dari dalam mobil.
”Di kawasan ini tercatat sembilan dari sepuluh jenis burung rangkong yang ada di Sumatera,” sebut Erwin Parbatakusuma dari Conservation International (CI) Indonesia yang ikut menemani penjelajahan ini. Ia cuma senyum-senyum saja melihat tingkah kami tadi. Rangkong memang menarik sebab ia punya paruh besar yang mirip tanduk. Di hutan alami kawasan Sumatera, burung-burung ini relatif mudah dijumpai – termasuk di kawasan Batanggadis.
Bakal Taman Nasional
Batanggadis adalah kawasan rimba alami yang berada di wilayah Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Kabupaten ini berpusat pemerintahan di kota Panyabungan.
Rencananya, awal tahun ini Batanggadis ditunjuk sebagai taman nasional. ”Targetnya, Februari. Kami cukup optimis kok,” tegas Ismayadi Samsoedin, Northern Sumatra Corridor Project Manager CI Indonesia sebelum kami memulai penjelajahan.
Perjalanan menuju rimba Batanggadis amat mengasyikkan. Perbedaan kontur ketinggian dengan jalan aspal berliku mengingatkan kita pada kawasan wisata Puncak, Cianjur, Jawa Barat. Hanya saja bedanya, perjalanan ke Batanggadis terasa kental dengan nuansa petualangan. Apalagi bila menembusnya dengan kendaraan gardan ganda, macam Land Rover. Wuih, gairahnya terasa sampai ubun-ubun.
Betapa tidak, di kiri-kanan jalan masih dominasi tutupan vegetasi hijau. Walau ada yang terlihat bolong-bolong oleh konversi lahan dan illegal logging, rimba Batanggadis termasuk kawasan alami yang masih tetap terjaga.
Saat menjelajahi rimba Batanggadis, Sulis bercerita soal kepedulian masyarakat untuk memproteksi kawasan yang masih tersisa itu. Jadi tak perlu heran bila usulan kawasan Batanggadis sebagai taman nasional justru datang dari masyarakat. Menariknya, pemerintah kabupaten merespons dengan bagus.
”Itu cerita yang bagus sebetulnya. Di Indonesia, usulan sebuah kawasan sebagai taman nasional kebanyakan datang dari (pemerintah) pusat. Jadi nggak usah heran kalau sering terjadi konflik dengan masyarakat sekitar kawasan,” papar Sulis yang bekerja sebagai Communication Specialist CI Indonesia.
Sorik Marapi
Petualangan lainnya adalah mendaki gunung Sorik Marapi (2.145 mdpl). Gunung ini masih termasuk rangkaian Bukit Barisan. Menurut catatan, gunung ini terakhir meletus pada 1982. Dalam perjalanan ke Batanggadis, kami sempat singgah ke kawasan Sorik Marapi.
Kalau ingin melakukan pendakian, disarankan melapor pada petugas Badan Meteorologi dan Geofisika yang berkantor di Sibanggor Tonga. Selain untuk keamanan kita, para petugas akan memberikan petunjuk jalur dan lainnya. Jalur paling enak lewat Sibanggor Julu. Kawah akan tergapai dalam tempo tiga jam perjalanan.
Walau tak begitu tinggi, pendakian ke puncak Sorik Marapi akan memberikan pengalaman menarik bagi wisatawan. Terlebih pemandangan hutan di kaki gunung masih terpelihara dengan baik dan kaya dengan beragam jenis satwa liar.
Kekayaan satwa liar rimba Sorik Marapi pernah didata oleh Mistar (Fakultas Biologi Universitas Medan Area) dan Sri Eva Meyli (Yayasan Kanopi, Medan) pada awal 2003. Lewat sebuah survei di desa Sibanggor Julu, Kecamatan, Aek Nopan – terletak pada 0o42’ 29. LU, 99o 34’ 03. BT dan tinggi 920-1500 mdpl – mereka menemukan sejumlah reptilia dan amfibi. Jumlahnya ada 8 famili, 13 marga, 15 spesies, dari dua bangsa (ordo) yaitu amfibia dan reptilia.
Pada bangsa amfibi diperoleh lima jenis dari tiga famili: Bufonidae (Bufo asper, Pelophryne sp.), Ranidae; (Fejervaria limnocharis, Rana erythraea, Rana nicobariensis), Rhacophoridae (Polypedates leucomystax). Sedang reptilia lima famili: Agamidae (Bronchocella chrystatella, Aphaniotis fusca), Gekkonidae (Cyrtodactylus lateralis), kadal Scincidae (Mabuya multifasciata), Ular Colubridae (Ahaetulla prasina, Pareas laevis, Ular sp1), Elapidae (Maticora bivirgata), Viperidae (Trimeresurus popeorum).
Survei itu juga menemukan satwa liar lain, seperti simpai (Presbytis melalophos), ungko (Hylobates agilis), siamang (Hylobates syndactylus), bajing kebun (Callosciurus notatus), Babi alang-alang (Sus scrofa) dan kijang (Muntiacus muntjac).
Kabarnya, penduduk masih menjumpai harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan orangutan (Pongo abelii). Yang terakhir ini konon sudah 30 tahun tak pernah dijumpai lagi. Survei terakhir (Wich, Utami & Singleton, 2000) tak menjumpai tanda-tanda kehadiran orangutan di sekitar Sungai Batanggadis.
Djojoasmoro (2003) melaporkan bahwa orangutan masih dijumpai di Cagar Alam Dolok Sibualbuali dalam kondisi yang kritis karena mengalami tekanan habitat dari penebangan dan perburuan liar.
Burung-burung juga banyak dijumpai di antaranya beberapa jenis elang melintas terutama di sekitar puncak belerang (Ictinaetus malayensis, Spizaetus kienerii), satu jenis rangkong juga sering terlihat melintas. (Lihat Boks: Burung-burung di Gunung Sorik Marapi)
Kini, kawasan gunung Sorik Marapi sebelah timur bagian utara atau sebelah barat desa Sibanggor Julu mengalami tekanan untuk penanaman jeruk. Di daerah tersebut telah dibuka lebih dari 25 hektar. Ini dilakukan atas inisiatif dan kesepakatan antarpemuka adat desa. Pasalnya, kebun jeruk di sekitar permukiman desa Sibanggor Julu telah rusak dan lahan telah mencapai kritis hara.
Menurut Nasution, warga Sibanggor Julu, jeruk memang tak lagi jadi primadona. Beberapa tahun belakang, kualitas hasil panen dirasakan terus menurun. Ia sendiri mengaku menelantarkan kebun jeruk di bekalang rumahnya. ”Ya, saya hidup dari uang pensiun saja,” tukas veteran perang kemerdekaan RI ini, tersenyum.
(SH/bayu dwi mardana/ darma lubis)
http://www.sinarharapan.co.id/feature/hobi/2004/0107/hob1.html
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment