Wednesday, July 25, 2007

Pembangunan Taman Nasional Batang Gadis

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN
PEMBANGUNAN TAMAN NASIONAL BATANG GADIS DI PROVINSI SUMATERA UTARA


Oleh : Menteri Kehutanan

Yang terhormat Gubernur Sumatera Utara dan para pejabat pemerintah provinsi Sumatera Utara,Yang terhormat Bupati Mandailing Natal dan para pejabat pemerintah kabupaten Mandailing Natal,Yang terhormat para tokoh agama dan pemuka masyarakat Kabupaten Mandailing Natal,Hadirin undangan yang berbahagia,

Assalamualaikum Wr.Wb.

Salam sejahtera,

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Illahi, karena berkat rahmat dan karuniaNya, maka pada hari ini, kita bersama-sama dapat hadir untuk mengikuti peresmian pembangunan Taman Nasional Batang Gadis di Panyabungan ini.

Hadirin yang terhormat,

Sebagaimana saudara-saudara maklum bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat kenanekaragaman hayati dan tingkat endemisme (keunikan) yang sangat tinggi sehingga dimasukkan ke dalam salah satu negara mega-biodiversity. Keanekaragaman hayati termasuk di dalamnya jenis-jenis satwa dan tumbuhan serta ekosistemnya, telah memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.

Namun demikian Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan laju pengurangan luas hutan alam yang terbesar di dunia. Data menunjukkan laju pengurangan luas hutan tersebut di pulau Sumatera mencapai 2 % per tahun, di pulau Jawa mencapai 0,42 % per tahun, di pulau Kalimantan mencapai 0,94 % per tahun, di pulau Sulawesi mencapai 1 % per tahun dan di Irian Jaya mencapai 0,7 % per tahun. Pengurangan luas hutan tersebut terjadi akibat proses laju penurunan mutu hutan (degradasi) dan penggundulan hutan (deforestasi). Beberapa studi menunjukkan laju degradasi dan deforestasi hutan di Indonesia mencapai rata-rata 1-1,5 juta hektar per tahunnya.

Terjadinya degradasi dan deforestasi hutan tersebut telah memberikan implikasi yang sangat luas dan mengkhawatirkan bagi kehidupan masa depan manusia. Fungsi-fungsi lingkungan yang sangat mendasar untuk mendukung kehidupan manusia terabaikan, beranekaragam kehidupan flora dan fauna yang membentuk mata rantai kehidupan yang bermanfaat bagi manusia menjadi rusak dan hilang dan yang terjadi saat ini adalah banjir di beberapa daerah serta kebakaran hutan yang menimbulkan kabut asap.

Selain itu masalah kehutanan di perparah dengan terjadinya penyelundupan dan pembalakan kayu ilegal di berbagai daerah. Hal ini merupakan keprihatinan nasional dan telah menjadi perhatian Presiden. Presiden telah menyampaikan sejumlah indikasi keterlibatan aparat pemerintah dalam kasus penyelundupan kayu di berbagai daerah dan telah memberikan instruksi kepada tim operasi gabungan yang diketuai oleh Kapolri RI agar dalam dua minggu ini tim operasi terpadu sudah harus melaporkan progress berkaitan dengan target memproses pihak-pihak yang terkait dalam permasalahn tersebut

Hadirin yang terhormat,

Melihat pentingnya kelestarian hutan, pemerintah Indonesia telah mempunyai komitmen untuk melindungi 10% area daratan, dan 20 juta Ha habitat pesisir dan laut sebagai kawasan konservasi. Selain itu berkaitan dengan konservasi, telah dimiliki berbagai peraturan perundangan dan telah pula diratifikasi konvensi internasional yaitu konvensi tentang konservasi keanekaragaman hayati sebagai konsensus nasional, telah disusun suatu Biodiversity Action Plan for Indonesia pada tahun 1993. yang sekarang telah diperbaharui menjadi Indonesian Biodiversity Strategy & Action Plan pada tahun 2003.

Secara garis besar konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia dilakukan melalui kegiatan-kegiatan antara lain :

Konservasi in-situ pada kawasan konservasi (in-situ conservation in terresterial parks and protected areas).

Konservasi in-situ di luar kawasan konservasi (in-situ conservation outside parks and reserve), di areal produksi, HTI dan sebagainya.

Konservasi pesisir dan laut (coastal and marine conservation)

Konservasi ex-situ di kebun botani, kebun binatang dan sebagainya.

Pembangunan Taman Nasional merupakan salah satu model dalam menjalankan kebijaksanaan pembangunan kehutanan khususnya di bidang pelestarian konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya tersebut. Didasari oleh lajunya tingkat kerusakan hutan di pulau sumatera khususnya di provinsi sumatera Utara dan sekitarnya, masyarakat dan pemerintah daerah Kabupaten Mandailing Natal, telah memprakarsai pembentukan taman nasional Batang Gadis untuk tetap dapat melestarikan keanekaragaman hayati yang masih dimiliki di kawasan hutan tersebut, sehingga masyarakat di sekitarnya masih dapat menikmati air sungai yang bersih, udara yang sejuk yang saat ini sudah jarang dijumpai masyarakat perkotaan, disamping melestarikan flora dan fauna khas di wilayah ini. Untuk itu kami sangat menghargai dan mendukung program pembangunan Taman Nasional Batang Gadis yang dilaksanakan oleh masyarakat dan pemerintah daerah Kabupaten Mandailing Natal ini.

Hadirin yang kami hormati,

Pembangunan dan pengelolaan taman nasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan serta saling terkait dan menunjang dengan kepentingan pembangunan wilayah di sekitarnya (Integrated Conservation and Development Programme), sehingga diharapkan mampu menjamin upaya konservasi sumberdaya alam hayati dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya baik secara langsung maupun tidak langsung.

Mengingat semakin meningkatnya kepedulian para pemangku kepentingan (stakeholder), maka kedepan untuk pengelolaan kawasan konservasi khususnya taman nasional berkembang adanya tuntutan untuk mengembangkan kolaborasi manajemen, untuk itu kami telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004, untuk dijadikan pedoman dalam pengelolaan kawasan konservasi.

Kolaboratif Pengelolaan merupakan suatu kebutuhan dalam rangka mengurangi atau menghilangkan konflik serta menampung berbagai aspirasi atau keinginan berbagai pihak untuk ikut berbagi peran, manfaat dan tanggungjawab dalam pengelolaan taman nasional. Keberhasilan pelaksanaan kolaboratif pengelolaan sangat ditentukan adanya komitmen dan kesepakatan para pihak yang berkepentingan untuk mewujudkan kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bagi kesejahteraan masyarakat, sehingga tidak terulang kasus perambahan kawasan Padang Lawas di Sumatra utara.

Penetapan Taman Nasional Batang Gadis bukan merupakan akhir dari perjalanan namun merupakan langkah awal yang penuh tantangan bagi para pihak yang berkepentingan untuk tetap mempertahankan dan meningkatkan keutuhan ekosistem Taman Nasional Batang Gadis, agar dapat mendukung pembangunan daerah yang berkelanjutan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di sekitar taman nasional.

Akhir kata, dengan mengucap Bismillahirrahmanirrahim, Pembangunan Taman Nasional Batang Gadis, kami nyatakan secara resmi dimulai.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Panyabungan, 24 Pebruari 2005
Menteri Kehutanan,
ttd.
M.S. KABAN



Disampaikan dalam rangka peresmian pembangunan Taman Nasional Batang Gadis di Kabupaten Mandailing Natal Tanggal 24 Pebruari 2005

Sunday, July 15, 2007

Sepuluh Hari Mencari Harimau


Sepuluh hari MENCARI HARIMAU

Seiring dengan adanya program monitoring keanekaragaman hayati khususnya spesies Harimau (Phantera tigris sumatrae) di Taman Nasional Batang Gadis, dilakukanlah kunjungan di beberapa program konservasi Harimau di Sumatera.

Oleh: Anton Ario
GGNP Biodiversity Research Coordinator
Sugesti
GIS Technical Assistant for NSC program



Kunjungan dilakukan di seluruh kegiatan beberapa lembaga yang meneliti harimau antara lain di Lampung yang dilakukan oleh Wildlife Conservation Society -Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (WCS-TNBBS), di Jambi: Zoological Society of London (ZSL-Asiatic Persada) dan di Riau: World Wide Fund For Nature (WWF-Tesso Nilo) yang menjadi target kunjungan.

Ombak di jalanan

Perjalanan dimulai dari Jakarta mengendarai mobil milik NSC program. Sesekali kaki kiri dengan reflek mencari pedal kopling di kendaraan tersebut, maklum belum terbiasanya kami menggunakan kendaraan yang tidak ada pedal koplingnya alias automatic transmition car. Tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama, kendaraan dapat segera dikuasi dan dipacu dengan mulus menuju penyeberangan Merak, Banten.

Dua jam terombang lautan—Selat Jawa-- akhirnya roda kendaran mendarat mulus di tanah Sumatera. Kendaran dipacu menuju lokasi pertama yaitu program konservasi harimau WCS di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Dilanjutkan ke lokasi kedua yaitu program harimau ZSL di Asiatic Persada. Kemudian pada etape terakhir yaitu program harimau WWF di Taman Nasional Tesso Nilo.

Tidak disangka bahwa kondisi jalan lintas Sumatera saat ini mengalami kerusakan yang parah. Diputuskan untuk menempuh lintas timur. Tetapi apa lacur, jalan lintas timurpun mengalami hal serupa, rusak, bergelombang dan bolong-bolong. Akibatnya kendaraan yang kami kemudikan secara bergantian itu harus sering mengalami perhentian mendadak karena kondisi jalan yang tidak memungkinkan kendaraan dipacu dengan kecepatan tinggi. Tetapi dalam kondisi jalan seperti itu, kami masih diuntungkan dengan transmisi mobil yang automatic sehingga tidak menyebabkan kami kelelalahan dalam mengemudi.

Menjadi offroader

Dalam setiap kunjungan, kami sempatkan untuk turun ke lapangan. Artinya menyaksikan dan mengikuti kegiatan camera trapping yang dilakukan masing-masing program harimau.

Hampir setiap lokasi yang kami kunjugi ke lapangan, selalu melalui jalan-jalan yang dalam kondisi parah. Lumpur yang melompat-lompat hingga memasuki kabin mobil, selalu menemami kami setiap perjalanan ke lapangan. Tidak mengherankan dalam setiap kegiatan ini mereka menggunakan kendaraan-kendaraan Four-wheel drive untuk aktivitasnya. Sebut saja kendaraan double cabin Mistubhisi Strada dan Toyota Landcruiser keluaran tahun 1980 yang dipergunakan ZSL. Begitu juga di TNBBS dan Tesso Nilo, Kendaraan Taft Hi-Line menjadi tunggangan keseharian mereka dalam kelapangan.

Sunarto, koordinator program harimau WWF sengaja menunjukkan kepada kami kondisi mobil operasionalnya yang penuh lumpur tidak tercuci. “Sengaja gue nggak cuci tuh mobil ton..sampe elu dateng,”.. canda Sunarto dengan bangga.

Dilihat kondisi medannya memang sebagian besar merupakan jalan-jalan bekas HPH yang tentunya kondisinya parah seperti di Asiatic persada dan Tesson Nilo. Tetapi terdapat keunikan tersendiri mencoba track berlumpur, cocok untuk menguji ketangguhan berkendara di medan yang rusak berat. Pemandangan seperti ini seakan membawa kami menjadi offroader yang selalu bergelimang lumpur.

“Berburu” harimau

Kegiatan pertama kami lakukan di Lampung tepatnya di program WCS. Dengan panjang lebar Untung “Tiung”, koordinator program Harimau di WCS mejelaskan kepada kami tentang kegiatan penelitian harimau dengan camera trapping di TNBBS. Selain metodelogi, teknis operasional lapangan hingga pengembangan database kami dapatkan informasi tersebut. Program harimau di WCS tergolong sudah cukup lama berlangsung. Program di WCS ini, merupakan salah satu referensi untuk kegiatan serupa di Taman Nasional Batang Gadis nantinya.

Di program harimau ZSL di PT Asiatic Persada – Jambi, kami juga mendapatkan informasi dari Dolly Priatna, koordinator program Harimau ZSL. Dolly juga memberikan informasi dan masukan-masukan kepada kami tentang kegiatan harimau di Sumatera. Dia juga menjelaskan kegiatan harimau di lokasi yang merupakan perkebunan kelapa sawit dan berbatasan dengan HPH Asialog tersebut. Walaupun penelitian bukan dikawasan konservasi tetapi manajemen Asiatic Persada memiliki komitmen dalam kegiatan konservasi khususnya Harimau, Dolly menjelaskan.

Lain halnya di program harimau WWF-Tesso Nilo. Lokasi ini merupakan target lokasi terakhir kami. Sunarto menjelaskan dengan gamblang dan banyak membantu kami dalam memberikan masukan-masukan untuk kegiatan di Taman Nasional Batang Gadis. Karena kebetulan Sunarto juga pernah terlibat dalam perencanaan tersebut.

Penggunaan camera trap setiap lokasi berbeda-beda tipenya. WCS menggunakan tipe Camtrakker dalam operasionalnya, sedangkan ZSL menggunaakan tipe Photo Scout dan Camtrakker. Di WWF menggunakan jenis kamera tipe Deer Cam. Walaupun berbeda tipe, secara prinsip tidak ada perbedaan. Perbedaannya hanya pada komponen dan sedikit dalam pengoperasiannya.

Begitu juga dalam penggunaan metodelogi pada ketiga lokasi tersebut hampir sama, hanya saja dalam penetapan dan tekniknya yang mengalami pengembangan dalam teknis, datasheet maupun database-nya. Selain itu dalam pemilihan lokasi pemasangan di tiga lokasi juga ada yang berdasarkan sistem acak (random) dan ada juga yang berdasarkan dari lokasi potensial keberadaan harimau.

Tujuan dari penelitian harimau yang dilakukan pada masing-masing lokasi kunjungan tersebut, selain mengetahui estimasi populasi dan distribusi dan kelimpahan mangsa (prey), juga dilakukan peningkatan kesadaran masyarakat melalui awareness / campaign dan pendidikan. Selain itu ada juga yang ingin mengetahui home range harimau dengan menggunakan radio collar seperti yang dilakukan di ZSL. Pemantauan melalui kegiatan anti poaching seperti yang dilakukan ZSL dan WWF tidak ketinggalan dilakukan untuk memonitor keberadaan dan ancaman terhadap satwa belang ini. Intinya dari kesemua aktivitas tesebut memiliki satu tujuan yaitu konservasi Harimau sumatra yang tingkat ancamannya tidak pernah berkurang. (Anton.doc)


HARIMAU SUMATRA (Panthera tigris sumatrae)
di Taman Nasional Batang Gadis

By:
Anton Ario
GGNP Biodiversity Research Coordinator

Taman Nasional Batang Gadis yang berada di kabupaten Mandailing Natal (Madina) propinsi Sumatera Utara, memiliki luasan lebih kurang 108.000 ha. Hasil kegiatan RAP (Rapid Assessment Program), buah kejasama antara CII, PHKA, Litbang Kehutanan dan LIPI, mengemukakan bahwa Taman Nasional Batang Gadis menyimpan potensi keanekaragamn hayati yang tergolong tinggi, termasuk Harimau sumatra (Panthera tigirs sumatrae).

Harimau Sumatera merupakan satu-satunya dari subspesies Harimau yang masih tersisa di Indonesia. Keberadaannya hingga saat ini semakin mengkhawatirkan. Kehilangan habitat dan mangsa (Bovidae dan Cervidae) menyebabkan satwa yang hidup di pulau sumatera ini semakin terancam keberadaannya. Saat ini diperkirakan berkisar 400-500 ekor yang masih tersisa di alam (Seidenstiker,1999). Keadaan yang mengkhawatirkan inilah yang menyebabkan Harimau sumatera berstatus critically endangered (IUCN 2004). Selain itu juga, dengan maraknya perburuan dan perdagangan menjadikan Harimau sumatera tergolong Appendix I (CITES) artinya satwa yang dilarang keras untuk diperdagangkan dengan alasan apapun.

Harimau merupakan satwa yang menempati posisi puncak dalam rantai makanan di hutan tropis. Peranannya sebagai top predator, menjadikan harimau menjadi salah satu satwa yang berperan penting dalam keseimbangan ekosistem. Kepunahan akan terjadi pada Harimau sumatera apabila ancaman terhadap kehidupan satwa ini terus berlangsung, seperti halnya yang terjadi pada Harimau bali (Pantera tigris balica) dan Harimau jawa (Pantera tigris sondaica) yang mengalami kepunahan sejak tahun 1940-an dan 1980-an.

Keberadaan harimau di Taman Nasional Batang Gadis, diketahui berdasarkan pemasangan perangkap kamera (Camera trap) di beberapa lokasi. Kegiatan ini telah dilakukan seiring penetapan kawasan tersebut menjadi Taman Nasional. Berdasarkan temuan keberadaan harimau tersebut, dilakukanlah program konservasi harimau untuk lebih memaksimalkan program konservasi di Taman Nasional Batang Gadis. Melalui program konservasi Harimau tersebut, sekiranya dapat menjadi salah satu program yang akan mendapatkan keluaran penting dalam konservasi spesies dan habitat dalam pengelolaan taman nasional Batang Gadis. Selain itu kegiatan pendidikan dan awareness, diharapkan dapat menumbuhkan kepedulian masyarakat di sekitar kawasan taman nasional terhadap Harimau.

Hingga saat ini telah dioperasikan tujuh camera trap (kemungkinan besar bertambah menjadi 20 kamera) yang tersebar di beberapa lokasi penempatan kamera yang selama ini dilakukan oleh NSC team. Selama pengoperasian Camera trap di dapat 2 individu harimau. Selain itu satwa lain yang juga terekam diantaranya burung Kuau (Argusianus argus), Tapir (Tapirus indicus), Kambing hutan (Naemorhedus sumatrae), Kijang (Muntiacus muntjak), Kucing hutan ( Felis bengalensis), Kucing emas ( Catopuma temminckii), dan lain-lain (Anton).


http://www.conservation.or.id/tropika.php?catid=43&tcatid=250&page=g_tropika.index

Kucing Emas (Golden Cat) Yang Hampir Terhapus Ditemui di TNBG


A camera installed by researchers once captured an extremely rare golden cat (Catopuma temminekii) in the forest. "It's a very rare and almost extinct cat species globally," said, Mandailing Natal forestry office Budi Ismoyo.
KUCING EMAS (Catopuma temminckii)

Tim peneliti Conservation International (CI) Indonesia berhasil mendokumentasikan keberadaan kucing emas lewat kamera perangkap. Kucing langka ini ditemukan di Taman Nasional Batang Gadis, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Binatang ini lebih mirip puma ketimbang spesies kucing yang hidup di hutan Asia. Golden cat punya perbedaan mendasar dibandingkan lima jenis kucing penghuni Taman Nasional Kerinci Seblat yang kulitnya polos. Selain berwarna kuning keemasan, kulit kucing emas ada pula yang berwarna cokelat tua atupun abu-abu. Warna yang paling langka ialah melanistic alias hitam tulen. Kucing emas yang satu ini kerap disangka macan kumbang oleh masyarakat Sumatera. Jejak kaki kucing domistik. Tentunya tanpa cakar seperti pada jari kaki anjing. Satwa yang panjang tubuhnya bisa mencapai 1,3 meter ini memiliki berat sekitar 15 kilogram. Ia biasa hidup di dataran rendah.


Animal Info - Asiatic Golden Cat
(Other Names: Asiatische Goldkatze, Chat de Temminck, Chat Doré d'Asie, Gato Dorado Asiatico, Golden Cat, Harimau Anjing, Hso Hpai, Huang Hu, Jin Mao, Kuching Mas, Kucing Emas, Kucing Tulap, Kya Min, Kyaung Min, Miao Thon, Shonali Biral, Sua Fai, Sua Meo, Sua Pa, Temminck's Cat, Zhi Ma Bao)
Catopuma temminckii (Felis t.)
Status: Vulnerable

--------------------------------------------------------------------------------

Contents
1. Profile (Picture)
2. Tidbits
3. Status and Trends (IUCN Status, Countries Where Currently Found, Taxonomy, Population Estimates, Distribution, Threats)
4. Data on Biology and Ecology (Size and Weight, Habitat, Age to Maturity, Gestation Period, Birth Season, Birth Rate, Maximum Age, Diet, Behavior (Activity, Movement, Denning, Hunting and Feeding), Social Organization, Range)
5. References


--------------------------------------------------------------------------------

Profile
Pictures: Asiatic Golden Cat #1 (24 Kb JPEG) (IUCN Cat Spec. Gr.); Asiatic Golden Cat #2 (21 Kb JPEG) (IUCN Cat Spec. Gr.); Asiatic Golden Cat #3 (31 Kb JPEG) (IUCN Cat Spec. Gr.); Asiatic Golden Cat #4 (48 Kb JPEG) (Cat Surv. Trust)

The Asiatic golden cat is about twice the size of a large house cat. Its head and body are up to 1 m (3.3') long and it weighs about 14 kg (30 lb). Its coat color is variable - it can be golden brown to dark brown, pale cinnamon, bright red, or gray. The fur is usually uniform in color, but it can also be marked with spots and stripes. The fur is moderately long, dense, and rather harsh to the touch. The Asiatic golden cat has short, rounded ears, and in all color phases its head is distinctly marked with white lines bordered with black running across each cheek and from the inner corner of each eye up to the crown.

The Asiatic golden cat usually inhabits tropical and subtropical evergreen lowland and dry deciduous forest. It has been recorded up to 3,050 m (10,000') in the Himalayas. The Asiatic golden cat does not adapt well to areas settled by humans. It has a wide ranging diet, composed mainly of small mammals (e.g. rats and mice), but also including birds, reptiles and larger mammals such as deer. In some areas the Asiatic golden cat is thought to be nocturnal, while in other areas it appears to be active during the day and at night. Young golden cats are raised in hollow trees, in rock hollows, and in holes in the ground. The Asiatic golden cat is primarily a terrestrial hunter, but it can climb trees when it needs to. Males and females often hunt in pairs, and the male is thought to play an active role in rearing the young.

The Asiatic golden cat is found from Tibet (China), Nepal, and Sikkim (India) through southern China, Myanmar, Thailand, and peninsular Malaysia and Sumatra (Indonesia). Areas of good habitat still exist in Bhutan, parts of northeastern India, and China. It is thought to be uncommon. The Asiatic golden cat is threatened primarily by habitat loss due to deforestation and loss of its prey due to illegal hunting. It is also hunted for its pelt, and its bones are used as a substitute for tiger bone in traditional Asian medicines.


--------------------------------------------------------------------------------

Tidbits
*** Cat Tidbit #2: It has been a mystery for years why domestic cats, along with big cats like lions, tigers, leopards and jaguars, don’t like sweet-tasting foods. This is unusual in mammals. Scientists have discovered why cats prefer eating meat and fish instead - they can’t taste sugary foods due to a defect in a key gene for tasting. Molecular analysis shows that big cats also have the faulty gene. (Cat News 2004) (See Cat Tidbit #3.)

*** In Thailand, the forest people believe that the Asiatic golden cat is extremely fierce, and that it's the master of all other cats. The Karen, a local tribe, believe that carrying a single hair of the Asiatic golden cat on your person will keep tigers away. (Sunquist & Sunquist 2002)

*** In China, the Asiatic golden cat is thought to be a kind of leopard and is known as the rock cat or yellow leopard. Different color phases have different names; those with dark fur are called inky leopards, and those with spotted coats are called sesame leopards. (Sunquist & Sunquist 2002)


--------------------------------------------------------------------------------

Status and Trends
IUCN Status:
[The IUCN (International Union for the Conservation of Nature; also called the World Conservation Union) is the world’s largest conservation organization. Its members include countries, government agencies, and non-governmental organizations. The IUCN determines the worldwide status of threatened animals and publishes the status in its Red List.]

1986 - 1994: Indeterminate
1996: Lower Risk/near threatened
2002 - 2005: Vulnerable; (Criteria: C2a(i)) (Population Trend: Decreasing) (IUCN 2005)
Countries Where the Asiatic Golden Cat Is Currently Found:
2005: Occurs in Bangladesh, Bhutan, Cambodia, China, India, Indonesia (Sumatra), Laos, Malaysia, Myanmar, Nepal, Thailand, and Vietnam. (IUCN 2005).

Taxonomy:
Recent genetic analyses have lead to the proposal that all modern cats can be placed into eight lineages which originated between 6.2 - 10.8 million years ago. The Asiatic golden cat is placed in the "bay cat lineage," which diverged from its ancestors as a separate lineage 10.8 million years ago. The bay cat lineage also includes the bay cat and the marbled cat. (Johnson et al. 2006)

Population Estimates:
[Note: Figures given are for wild populations only.]

WORLD
The Asiatic golden cat’s total effective population size is estimated at below 10,000 mature breeding individuals (IUCN 2005).
Distribution:
The Asiatic golden cat is found from Tibet (China), Nepal, and Sikkim (India) through southern China, Myanmar, Thailand, and peninsular Malaysia and Sumatra (Indonesia). Areas of good habitat still exist in Bhutan, parts of northeastern India, and China. It is thought to be uncommon. (Sunquist & Sunquist 2002, IUCN 2005)

Distribution Map (2 Kb GIF) (Big Cats Online)

Threats:
The Asiatic golden cat is threatened primarily by habitat loss due to deforestation and loss of its prey due to illegal hunting. It is also hunted for its pelt, and its bones are used as a substitute for tiger bone in traditional Asian medicines (Grassman et al. 2005, IUCN 2005).


--------------------------------------------------------------------------------

Data on Biology and Ecology
Size and Weight:
Head and body length: 66 - 105 cm (26 - 41") (n = 15+); Weight: 12 - 16 kg (26 - 35 lb) (n = ?) except for 2 adult females that weighed 7.9 and 8.5 kg (17.4 and 18.7 lb) (Sunquist & Sunquist 2002, Grassman 2003).

Habitat:
The Asiatic golden cat inhabits tropical and subtropical evergreen lowland and dry deciduous forest. Less frequently it is found in more open habitats such as shrub and grasslands and sometimes in more open rocky areas. It has been recorded from lowlands up to 3,050 m (10,000') (Sikkim, India, in the Himalayas). Two radio-collared Asiatic golden cats in Thailand used habitat (95% - closed forest, and 5% - open forest-grassland) in proportion to occurrence, rather than favoring one type of habitat over the other, and locations were uniformly distributed. The Asiatic golden cat does not adapt well to or prefer areas settled by humans. (Humphrey & Bain 1990, Nowell & Jackson 1996, Holden 2001, Sunquist & Sunquist 2002, Grassman et al. 2005, IUCN 2005)

The Asiatic golden cat is found in both the Himalaya, Indo-Burma, Mountains of Southwest China, and Sundaland Biodiversity Hotspots (Cons. Intl. 2005) and the Kayah-Karan/Tenasserim Moist Forests and Peninsular Malaysian Lowland and Montane Forests Global 200 Ecoregions (Olson & Dinerstein 1998, Olson & Dinerstein 1999).

Age to Maturity:
The Asiatic golden cat attains sexual maturity by 18 - 24 months (Sunquist & Sunquist 2002).

Gestation Period:
Thought to be 78 - 80 days (Sunquist & Sunquist 2002).

Birth Season:
Litters are born throughout the year in captivity (Sunquist & Sunquist 2002). In the wild, a male and female pair was photographed with a small cub in late August in Sumatra, Indonesia (Holden 2001).

Birth Rate:
1 - 3 kittens are born (average = 1.11) (captivity) (Nowell & Jackson 1996). If a litter is lost, the mother may produce another litter within 4 months (Humphrey & Bain 1990).

Maximum Age:
Up to 20 years (n = 12) (captivity) (Nowell & Jackson 1996).

Diet:
The Asiatic golden cat has a wide ranging diet mainly composed of small mammals (e.g. rats, mice, voles, ground squirrels), but also probably including amphibians, insects, birds (e.g. pheasants), reptiles (e.g. grass snake) and small ungulates (e.g. muntjacs and chevrotains). It will kill domestic poultry as well as sheep, goats, and buffalo calves. (Humphrey & Bain 1990, Nowell & Jackson 1996, Sunquist & Sunquist 2002, Grassman et al. 2005, IUCN 2005)

Behavior:
Activity - Published information on the activity patterns of the Asiatic golden cat displays varying results. A number of authors state that the Asiatic golden cat is primarily nocturnal (Nowell & Jackson 1996, Sunquist & Sunquist 2002, IUCN 2005). However, a study using photo-trapping in Sumatra, Indonesia (Holden 2001) indicated that the Asiatic golden cat was cathemeral. Forty-seven percent of the photographs showed the golden cats moving during daylight hours, with no particular bias towards crepuscular activity, and 53% of the photographs showed them active during the night. Finally, in a study in Thailand that followed 2 radio-collared Asiatic golden cats (1 female and 1 male) for 12 - 16 months (Grassman et al. 2005), daily activity levels indicated that the cats exhibited arrhythmic activity dominated by crepuscular and diurnal patterns, with activity peaks occurring between 0801 - 1000 h and 1601 - 1800 h (average activity = 69 %). The greatest numbers of inactive periods were scattered throughout late night (0001 - 0200 h and 0401 - 0600 h, average activity = 40 %) time periods. Overall the two cats were active during 56% of activity readings.

Movement - A male and a female golden cat, which were radio-tracked in Thailand, traveled an average of 1,600 m/day (56 - 9,300 m/day) (5200 ft/day (180 - 30,500 ft/day)). The average daily movement of the male was 2,300 m/day (640 - 9,300 m/day) (7500 ft/day (2100 - 30,500 ft/day)), while for the female the average daily movement was 1,100 m/day (56 - 3000 m/day) (3600 ft/day (180 - 9800 ft/day)). (Grassman 2003)

Denning - The Asiatic golden cat raises its young in hollow trees, in rock hollows, and in holes in the ground (Humphrey & Bain 1990).

Hunting and Feeding - The Asiatic golden cat is primarily a terrestrial hunter, but it can climb trees when it needs to. In captivity, Asiatic golden cats kill small prey with a bite on the back of the neck, as is typical of small cat species generally. They also pluck birds larger than pigeons before beginning to feed. (Sunquist & Sunquist 2002)

Social Organization:
The Asiatic golden cat often hunts in pairs, and the male is said to play an active role in rearing the young (Nowak 1999).

In the study in Thailand mentioned above, where one male and one female Asiatic golden cat were radio-collared and radio-tracked. It was found that there was a significant overlap in the home ranges of the male and the female. Fifty-three percent of the range of the male encompassed 78% of the range of the female. (Grassman et al. 2005)

Range:
In the study of radio-tracked Asiatic golden cats mention above, the resulting estimates of home range sizes were: F - 33 sq km (13 sq mi) and M - 48 sq km (19 sq mi). Their movements were not clustered around small core areas and space use within the home ranges was relatively uniform. (Grassman 2003, Grassman et al. 2005)


--------------------------------------------------------------------------------

References
Big Cats Online, Cat News 2004, Cat Surv. Trust, Cons. Intl. 2005, Grassman 2003, Grassman et al. 2005, Holden 2001, Humphrey & Bain 1990, IUCN 2005, IUCN Cat Spec. Gr., Johnson et al. 2006, Nowell & Jackson 1996, Olson & Dinerstein 1998, Olson & Dinerstein 1999, Sunquist & Sunquist 2002

http://www.animalinfo.org/species/carnivor/catotemm.htm

A Trip Down Memory Lane in Papan, Perak


Members of the Perak Heritage Society visiting Rumah Besar Raja Bilah in Papan
Anggota Persatuan Warisan Perak mengunjungi Rumah Besar Raja Bilah di Papan

A trip down memory lane
By CHAN LI LEEN
Photos by SAIFUL BAHRI and CHAN LI LEEN
Saturday September 13, 2003

THE hosts of Papan, one of the oldest towns in the Kinta Valley, were revisited during the Papan Open Day organised by the Perak Heritage Society recently.

Hundreds of visitors travelled from near and far to this almost forgotten pioneer town to relive the times of the early Chinese and Mandailing settlers and to retrace events of the Japanese Occupation during World War II.

The open day was also organised to introduce the God of the Earth, the second book by former resident Ho Thean Fook, 83.

Since early morning, the main road of the town, which is located off the Lumut Highway, 16km from Ipoh, was packed with history buffs who had also come to visit Papan and the sites mentioned in Ho's book.

Visitors for Papan looking at articles and old pictures of the town at Sybil Kathigasu's old house.

Ho's book is a fictional and partly biographical novel set in Papan during the rise of the affluent tin and rubber industries in Perak at the beginning of the 20th century.

It was launched on Aug 22 by lawyer Pamela Ong during a dinner talk organised by the Perak Academy at the Syuen Hotel in Ipoh.

Former principal of SMK St Michael's Institution Ipoh Brother Vincent Corkery said: It's a wonder how much a story can do to bring a town back to life. Papan is no longer neglected or forgotten because of the beautiful stories Ho has brought to life in his book.

Kicking off the memorable open day in Papan on Aug 24 was a lion dance by a troupe from nearby Batu Gajah.

This was followed by a talk about the novel by retired teacher Ong Su-Ming and state librarian Mohd Taib Mohamed at the Hakka Tsen Lung Fui Kuon Association, where hordes of people clamoured around Ho to get their books autographed.

A foreign visitor, J. Vanderbilt-Sloane, was so impressed by the town's historical essence and ambience that he donated 62 copies of Ho's book to the teachers and students of Papan, hoping that they would learn their history and roots.

French tourist Jennifer Gay, 36, who was first introduced to Papan two years ago, said the open day was a good way of getting people to be aware of the town and hopefully to preserve it.

A former teacher, Ho taught at the Khai Meng Chinese School in 1940 and, a year later, at the Kinta School of Commerce when war broke out.

He was 21 when he was roped in to fight the Japanese by the Malayan People's Anti-Japanese Army agents who used nationalism and patriotism as their selling points.
During one of the meetings, he was asked to approach Sybil Kathigasu, a brave Eurasian woman reputedly known to be anti-Japanese, for medical aid for the resistance fighters.

She was caught and tortured by the Japanese and died from the injuries she sustained at the hands of her captors.

"She was a divine lady and until today, I have not met any other woman like her,"Ho recounted.

"People have commented that I am a brave man because of the experiences I have gone through but, given a chance, I would prefer to lead a quiet and uneventful life. I still get nightmares from the past," said Ho.

His exploits with the resistance fighters were recorded in his first book, Tainted Glory, published in 2001.

For those who turned up at Papan, an open day would not be complete without a heritage walk of the town.

Society members Chye Kooi Loong, Law Siak Hong, Chong Fong Loon and Cheah Chee Ming, guided visitors on the Ho Thean Fook Trail mapped out by Law, Chong and Ho.

Visitors were also taken to the backroom of Kathigasu's house where she risked her life to provide medical aid for the resistance fighters.

Kathigasu would let the injured fighters in through the back door of the house when Ho knocked three times.

"There are also two secret compartments in the house, one under the staircase and another in the backroom, where Kathigasu hid her transistor radios that were codenamed Josephine 1 and 2," said Chong.

The entourage also stopped by at Rumah Besar Raja Bilah, a century-old Mandailing double-storey mansion made of bricks and cengal timber with eight-sided columns to symbolise that the building was erected with the support of people from the eight directions of the compass.

The house was mostly used for ceremonies such as weddings, feasts and other receptions, rather than as a residence for the late local chieftain, Raja Bilah.
A few metres away, some young children tried to peep into the old 1888 Papan Mosque, believed to be the last remaining large-scale 19th century mosque of traditional Mandailing architecture found in the country and Sumatra, Indonesia.

Among those taking the trail was a group of 37 pupils from SMJK Ave Maria Convent in Ipoh.

Papan has not been mentioned in our history textbooks and I felt it would be beneficial for my pupils to expose themselves to the town, not just by reading but by experiencing the place first hand,?said teacher Tai Mei Kim.

By noon, many had retired from the walk while the more adventurous ones went on to view the former mansions of the rich in the town like Yap See, Hew Ng, Chang Sin Sang, Loke Wan Toh and Cheah Kooi Chun, who had lent a hand in giving Papan its illustrious background.

http://allmalaysia.info/news/story.asp?file=/2003/9/13/state/6253503&sec=mi_perak

Sisa Kerajaan Buddha di Tapanuli Selatan


Sisa Kerajaan Budha di Tapanuli Selatan

Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) di Sumatera Utara (Sumut), dikenal sebagai daerah dengan mayoritas penduduknya muslim. Tak tanggung, dari sekitar 728.799 ribu penduduknya, sebanyak 90 persen beragama Islam. Nuansa Islam terakumulasi sebagai adat, mulai dari adat perkawinan, masuk rumah, khitanan hingga mengantar jemaah haji.

Kebanyakan masyarakatnya, selalu menggunakan pakaian yang juga mencerminkan nilai-nilai Islam. Lelaki mengenakan peci, atau sekedar lebai saat duduk di warung-warung kopi, bahkan hingga ke Padang Sidempuan, ibukota Tapsel. Sementara kaum ibu mengenakan kebaya atau kain terusan berikut mengenakan selendang. Padahal, arus modrenisasi juga mendera salah satu dari 25 kabupaten dan kota di Sumut ini.

Di setiap sudut, gampang dijumpai bangunan musholla atau mesjid dengan air untuk wuduk yang berasal dari air pancuran gunung. Maklum saja, sebagian besar dari 11.677 kilometer persegi luas wilayah Tapsel merupakan dataran tinggi.

Keidentikannya dengan budaya Islam membuat banyak yang yang tak percaya ketika mengetahui ternyata di kabupaten ini terdapat peninggalan Candi Budha! Tidak main-main, ada 16 candi di kabupaten ini. Keseluruhannya di Situs Purbakala Padang Lawas yang tersebar di empat kecamatan, Barumun, Barumun Tengah, Sosa dan Padang Bolak.

Candi Bahal I

Jangan membayangkan candi-candi itu seperti candi Prambanan atau Borobudur yang masih dipergunakan hingga sekarang. Candi-candi di Situs Padang Lawas masa kini hanya sebagai monumen sejarah dan sudah tidak dipergunakan lagi sebagai sarana beribadat. Misalnya Candi Bahal I.

Candi Bahal I yang berada di Desa Bahal, Kec. Padang Bolak, sekitar 450 kilometer barat daya Medan, ibukota Sumut, merupakan candi terbesar yang telah dipugar. Dikitari ilalang, Candi Bahal I terlihat bagai tugu batas desa. Beberapa pohon rimbun serta sebuah pos jaga di depannya sedikit menutupi papan nama candi di dekat gapura. Bangunan purbakala dari bata merah itu semakin memerah disengat matahari.

Walau berdiri di bukit kecil dan dikelilingi lembah berupa lahan persawahan, Candi Bahal I tidak selalu sepi. Masyarakat sekitar, memang tahu kalau di situ ada komplek percandian. Namun, tiap harinya bisa dikatakan tidak ada pengunjung.

Candi itu memang sepi pengunjung. Bisa dimaklumi sebab angkutan umum ke komplek candi ini relatif jarang dan memakan waktu. Dari Medan, terpaksa tiga kali naik angkutan, Medan – Padang Sidempuan, Padang Sidempuan – Padang Bolak serta Padang Bolak - Desa Bahal, dengan jarak tempuh sekitar 12 jam.

"Candi ini hanya ramai saat Lebaran atau Tahun Baru, itupun karena ada hiburan keyboard, biasanya dikutip Rp 2 ribu per orang. Kalau hari biasa, paling anak-anak muda sekitar kampung, pacaran. Pengunjung dalam sebulan paling banyak 20 orang saja. Kalau turis asing sudah lama tidak ada,” tutur Nashiruddin (28), seorang penduduk setempat.

Kendati merupakan kawasan wisata sejarah, tidak terlihat jejeran kios penjual makanan atau souvenir. Di luar hari libur besar, Candi Bahal I hanya berupa bangunan rapuh setinggi 12,8 meter dengan bayangan hitamnya di siang hari serta aliran Sungai Batang Panai sekitar 50 meter di bawahnya.

Menghadap Tenggara

Berbeda dengan posisi menghadap barat pada candi-candi di Jawa Timur atau menghadap timur pada candi-candi di Jawa Tengah, Bahal I justru dibangun menghadap Tenggara dengan sudut 135 derajat. Tidak diketahui alasannya.

Selain kawat berduri pemagar komplek candi seluas 2.744 meter persegi, di dalam masih ada pagar sepanjang 59 meter berupa susunan bata, mulai dari empat hingga 22 lapis. Dengan begitu, Bahal I merupakan candi terluas yang telah selesai dipugar bersama empat perwara-nya, yakni candi kecil di samping kiri dan depannya berbentuk bujur sangkar, menyerupai altar.

Perwara pertama luasnya 4,9 x 4,9 m dengan tinggi 1,5 m, berada enam meter sebelah timur laut bangunan induk. Perwara kedua merupakan perwara terluas, berada enam meter sebelah tenggara atau berhadapan dengan candi induk. Ukurannya 9,5 x 9,5 m dengan tinggi dua meter. Perwara ketiga terletak 2,20 m sebelah barat daya perwara kedua. Ukurannya 4,65 x 4,65 m dengan tinggi dua meter. Sedangkan perwara keempat ada di barat daya perwara ketiga, tinggi 1,5 meter dengan ukuran paling kecil, yakni 4 x 4 meter.

Sementara bangunan induk candi itu sendiri berdenah bujur sangkar. Di pintu masuk terdapat delapan anak selebar 2,25 meter. Sepasang arca singa terlihat mengapit tangga. Pada bagian tengah bangunan utama terdapat ruang kosong seluas 2,5 m x 2,5 m yang fungsi awalnya diperkirakan sebagai tempat pemujaan.

Kilasan Sejarah

Arkeolog asal Jerman F.M Schnitger yang berkunjung tahun 1935 menyimpulkan, candi itu peninggalan Kerajaan Pannai. Sumber sejarahnya berasal dari prasasti berbahasa Tamil berangka tahun 1025 dan 1030 Saka yang dibuat Raja Rajendra Cola I, di India Selatan. Rajendra berhasil menaklukkan Kerajaan Sriwijaya dan beberapa kerajaan lainnya temasuk Kerajaan Pannai. Keberadaan Kerajaan Pannai tercatat dalam Kitab Nagarakertagama, naskah kuno Kerajaan Majapahit tulisan Empu Prapanca tahun 1365 Saka.

Dari temuan sejumlah artefak, analisa konstruksi bangunan beserta materialnya yang dominan bata merah dengan ukuran beragam, batuan tuff (batuan sungai) untuk arca dan batuan kapur, memunculkan dugaan kuat bahwa candi ini berkaitan dengan agama Budha beraliran Wajrayana.

“Diperkirakan pembangunan Candi Bahal I beserta candi-candi di sekitarnya, sejaman dengan pembangunan Candi Muara Takus di Riau sekitar abad ke XII Masehi. Bahkan mungkin sama juga dengan sebuah Komplek Candi Mahligai dan Candi Putri Sangkar Bulan di Kab. Pariaman, Sumatera Barat yang sampai sekarang masih belum direnovasi,” kata Kepala Bidang Muskala, Kanwil Depdikbud Sumut, Syaiful A Tanjung.

Alasannya, kata Tanjung, karena proses pemugaran Candi Bahal masih mengikutsertakan arkeolog saja, sedangkan ahli sejarah tidak. Sehingga belum bisa disimpulkan kapan waktu berdirinya. Proses pemugaran masih berlangsung sampai sekarang.

Penulis yang sempat berkunjung ke Candi Muara Takus di Kabupaten Kampar, Riau, memang melihat ada kemiripan dari segi konstruksi maupun penggunaan batu bata sebagai bahan utama bangunan. Bata juga menjadi bahan bangunan dominan 61 candi di Komplek Situs Kepurbakalaan Muarajambi di Jambi.

Sebenarnya di Nanggroe Aceh Darusslam (NAD) masih berdiri satu candi bata, yakni Candi Indrapuri. Candi Hindu ini berada di Indrapuri, sekitar 25 kilometer arah timur Banda Aceh, ibukota NAD. Setelah berubah jadi Masjid Jami’ Indrapuri, terjadi beberapa perubahan bentuk.

Tembok tebal pemagar masjid merupakan bagian asli candi yang masih tersisa. Candi Indrapuri awalnya merupakan sebuah candi khusus untuk peribadatan kaum wanita. Kerajaan Lamori membangun Candi Indrapuri sekitar abad XII bersama Candi Indrapatra dan Indrapurwa. Namun dua candi terakhir sudah tidak terlihat lagi.

Relief tak Utuh

Satu hal yang agak memprihatinkan mengenai Candi Bahal I adalah pemugarannya, karena tidak begitu berhasil menunjukkan bagaimana ujud candi itu sebelumnya. Misalnya renovasi terhadap relief Yaksa dalam posisi sedang menari, di sebelah kiri pipi tangga candi. Bagian kepalanya sudah hilang.

Batu bata baru terlihat dipasang rata seperti membangun rumah! Tak ada ukiran baru mengikuti garis kepala Yaksa yang telah hilang! Untungnya 3 relief Yaksa di pipi kanan tangga masih asli. Kendati ada sedikit perbedaan pada tatahannya, namun dapatlah menjadi bahan perbandingan.

Sebenarnya relief terdapat pada setiap sisi candi. Ada enam relief singa pada dinding-dinding candi. Namun kini hanya beberapa bagian saja yang masih terlihat. Selebihnya berupa susunan batu bata baru. Ketika diresmikan Gubernur Raja Inal Siregar pada 26 Desember 1991, pemugaran itu tidak berhasil meniru aslinya.

Pemugaran terlihat lebih baik pada bagian dalam atas (atap) candi. Bentuknya lapik tiga lapis berupa susunan 21 batu bata. Berdenah bujur sangkar pada beberapa puluh centimeter pertama dan mengkerucut di bagian dalam. Sedangkan dari luar, atap berbentuk lingkaran. Renovasi keempat perwara tampak lebih baik, mungkin karena tak ada relief yang harus direkonstruksi.

http://khairulid.multiply.com/journal/item/23

Saturday, July 14, 2007

Natal Duka Buat Orang Mandailing Kristian Pakatan


Mandailing Kristian di Pakantan

Korban Gempa
Natal Dibayangi Harap-harap Cemas

Kompas Minggu, 24 Desember 2006

Natal tinggal dua hari lagi. Namun, tak ada persiapan khusus yang dilakukan umat Kristen di Pakantan, Muara Sipongi, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara.
"Tak ada jamuan Natal tahun ini. Masuk gereja saja kami takut keruntuhan bangunan jika gempa terjadi," kata Tiroma boru Tupang (74), warga Dusun Huta Padang, Desa Pakantan.

Bangku-bangku gereja berjajar dalam tenda terpal biru di depan Gereja Kristen Protestan Angkola, Pakantan. Sudah sepekan terakhir puluhan warga tidur dalam tenda itu.

Gempa berkekuatan 5,6 skala Richter yang mengguncang Muara Sipongi, Mandailing Natal, Senin lalu, membuat warga trauma. Hingga kini, lebih dari 6.000 warga Muara Sipongi mengungsi. Sementara 2.000 warga lainnya menumpang di rumah sanak famili.
Pada malam hari tak terhitung warga yang tinggal di tenda-tenda. Lebih dari 700 rumah rusak dan tak layak ditempati lagi. Meskipun frekuensinya menurun, gempa susulan masih terjadi, termasuk di Pakantan.

Pakantan terletak 12 kilometer dari pusat gempa. Baru hari Kamis lalu akses masuk ke Pakantan terbuka setelah jalan terkubur longsoran tebing. Bagi masyarakat Mandailing Natal, Pakantan dikenal karena tradisi Kristen-nya yang sudah tua, sejak tahun 1834.
Hal itu bermula dari kedatangan seorang misionaris Belanda bernama Verhuven di daerah itu untuk mendirikan gereja. Verhuven datang dari Padang setelah berlangsung Perang Paderi tahun 1822.

Menurut sejarawan Mandailing, Pangaduan Lubis, misionaris Belanda itu kemudian bekerja di Angkola, daerah Padang Sidempuan, lalu ke Sipirok dan Tarutung. Di tengah masyarakat Mandailing Natal yang sebagian beragama Islam, terselip sedikit pemeluk Kristen di Pakantan. Kehidupan gereja di Pakantan berlangsung baik dengan komunitas yang mencakup 15 keluarga.

"Tahun 1940-an, jumlah jemaat mencapai 300-an orang. Tapi kini tinggal sedikit karena banyak yang pergi," kata Saut Nauli Nasution (43), warga Pakantan. Kerukunan dengan warga Muslim sangat guyub sebab mereka masih satu garis keturunan. "Kalau ada tetangga yang hajatan, semua membantu ramai-ramai," kata Saut.

Kebanyakan penduduk hidup sebagai petani. Jika mereka membutuhkan uang, barulah beras simpanan dijual. Makan bersama adalah sesuatu yang lumrah. Jika satu orang punya beras, yang lain punya lauk, mereka makan bersama-sama. Namun, Natal kali ini makan bersama belum direncanakan. Semua masih waswas adanya gempa susulan.

Meskipun rumah-rumah mereka yang terbuat dari kayu tak berubah saat diguncang gempa, warga masih takut masuk rumah, apalagi masuk gereja yang merupakan bangunan permanen. Kecemasan terutama menghantui para ibu dan anak- anak. Jika gempa datang saat acara kebaktian, kekhidmatan bisa buyar.

"Belum ada orang yang tengok kami," kata Tiroma. Menurut warga, baru Kepala Desa Pakantan yang memberi satu dus mi instan. Dalam sekejap, makanan itu habis meski sekitar 60 warga belum kebagian.

Tahun ini mereka merayakan Natal di bawah ancaman bahaya. (WSI/MHD)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0612/24/Natal/3196496.htm

Gordang Sambilan Populer Hingga Eropah dan Amerika Syarikat


Gordang Sambilan Populer
Hingga Eropa Dan AS
WASPADA Online
20 Des 06 09:43 WIB

GORDANG SAMBILAN salah satu pesona wisata di Kab. Mandailing Natal (Madina), salah satu warisan budaya bangsa Indonesia. Bahkan diakui pakar etnomusikologi sebagai satu ensambel musik teristimewa di dunia.

Sebagai alat musik adat dan sakral, Gordang Sambilan terdiri dari sembilan gendang. Ukuran besar dan panjang ke sembilan gondang itu bertingkat, mulai paling besar sampai paling kecil.

Tabung resonator Gordang Sambilan terbuat dari kayu yang dilubangi, dan salah satu ujung lobangnya ditutup dengan membran terbuat dari kulit lembu dan ditegangkan dengan rotan sebagai alat pengikat.

Untuk membunyikan alat kesenian itu digunakan pemu-kul terbuat dari kayu. Masing-masing gondang mempunyai nama sendiri. dan tidak sama di semua tempat di seluruh Madina, karena masyarakat Mandailing yang hidup dengan tradisi adat punya kebebasan untuk berbeda.

Instrumen musik tradisional ini dilengkapi dua buah ogung, satu doal dan tiga salem-pong atau mong-mongan. Juga dilengkapi alat tiup terbuat dari bambu dinamakan sarune atau saleot dan sepasang simbal kecil yang dinamakan tali sasayat.

Belakangan ini, Gordang Sambilan sudah ditempatkan sebagai alat musik kesenian yang merupakan salah satu warisan budaya tradisional Mandailing, serta sudah mulai populer di Indonesia bahkan di Eropa dan Amerika Serikat (AS).

Karena dalam beberapa lawatan kesenian tradisional Indonesia ke sejumlah negara, diperkenalkan Gordang Sambilan. Sedangkan orang Man-dailing yang banyak bermukim di Malaysia sudah mulai pula menggunakan Gordang Sam-bilan untuk berbagai upacara.

Dengan ditempatkannya Gordang Sambilan sebagai instrumen musik kesenian tradisional Mandailing, maka alat musik ini sudah digunakan untuk berbagai keperluan di luar konteks upacara adat Mandailing. Misalnya menyambut kedatangan tamu agung, pe-rayaan nasional dan acara pem-bukaan berbagai upacara besar serta haru raya Idul Fitri.

Bagi orang Mandailing, Gordang Sambilan merupakan adat sakral, bahkan dipandang berkekuatan gaib yang dapat mendatangkan roh nenek mo-yang untuk memberi pertolo-ngan melalui medium atau se-macam shaman yang dinama-kan Sibaso

Pada zaman animisme, Gordang Sambilan digunakan untuk upacara memanggil roh nenek moyang apabila diper-lukan pertolongannya. Upacara tersebut dinamakan Paturuan Sibaso (memanggil roh untuk menyurupi medium Sibaso).

Tujuannya meminta perto-longan roh nenek moyang, me-ngatasi kesulitan yang sedang menimpa masyarakat, seperti penyakit menular. Juga digunakan untuk upacara meminta hujan atau menghentikan hujan yang turun terlalu lama dan menimbulkan kerusakan.
Selain itu dipergunakan pula untuk upacara perkawinan yang dinamakan Horja Godang Markaroan Boru dan untuk upacara kematian yang di-namakan Horja Mambulungi

Penggunaan Gordang Sambilan untuk kedua upacara tersebut, karena untuk kepentingan pri-badi harus terlebih dahulu men-dapat izin dari pemimpin tradisional dinamakan Namora Natoras dan Raja sebagai kepala pemerintahan.

Oleh karena itu pada masa lalu, di setiap kerajaan di Man-dailing harus ada satu ensambel Gordang Sambilan yang ditem-patkan di Sopo Godang (balai sidang adat dan pemerintahan kerajaan), atau disatu bangunan khusus terletak di dekat Bagas Godang (istana raja).

Permohonan izin itu dilaku-kan melalaui suatu musyawarah adat yang disebut Markobar Adat yang dihadiri tokoh-tokoh Namora Natoras dan Raja berserta pihak yang akan menyelenggarakan upacara. Selain harus mendapat izin dari Namora Natoras dan Raja, untuk penggunaan Gordang Sambilan dalam kedua upacara harus disembelih paling sedikit satu ekor kerbau jantan dewasa.

Jika persyaratan tersebut tidak dipenuhi, maka Gordang Sambilan tidak boleh diguna-kan untuk upacara kematian (Orja Mambulungi) hanya dua buah yang terbesar dari in-strumen Gordang Sambilan yang digunakan, yang dinama-kan Jangat. Tapi dalam konteks penyelenggaraan upacara ke-matian dinamakan Bombat.

Penggunaan Gordang Sam-bilan dalam upacara adat diser-tai peragaan benda-benda ke-besaran adat, seperti bendera adat yang dinamakan tonggol, payung kebesaran dinamakan Payung Raranagan dan berbagai jenis senjata seperti pedang dan tombak yang dinamakan Podang dan Tombak Sijabut.

Gordang Sambilan juga dapat digunakan mengiringi tari yang dinamakan Sarama Penyatarama (orang yang melakukan tari sarama), kadang-kadang mengalami kesurupan pada waktu menari karena di-masuki oleh roh nenek moyang.

* Munir Lubis
http://www.waspada.co.id/cetak/index.php?article_id=81258

Semangat Mandailing Sekental Gordang Sembilan


Gordang Sambilan diperdengarkan pada sambutan perayaan Merdeka 2005

SEMANGAT MANDAILING SEKENTAL GORDANG SEMBILAN

IRAMA (Gordang Sembilan, salah sau kesenian masyarakt Mandailing dari Tapanuli Selatan, sumatera, yang memenuhi setiap ruang auditoriam Memorial Tunku Abdul Rahman Putra al-Haj, menyimpan pelbagai rahsia tersirat suku kaum ini.

Paluan sembilan gendang panjang, sebuah sesayak, gong (dua), canang (1) dan cak lempong (3) oleh guru pelatih Institut Bahasa Melayu Malaysia (IBMM) perempuan dan lelaki di bawah pemimpinan Mohd. Sharifudin Yusof, yang begitu bersemangat, seolah-olah mewakili kekentalan hubungan sesama orang Mandailing.

Tidak sia-sia, IBMM, menjadikan Gordang Sembilan sebagai salah satu program angkat-nya kerana nyata persembahan guru pelatih IBMM itu memikat tetamu.

Daya tarikan tersendiri, Godang Sembilan ini sehingga berjaya memikat seorng kanak-kanak berusia sekitar dua tahun untuk sama tenggelam dalam irama yang penuh bertenaga manakala khalayak dewasa pula tidak kedekut dengan tepukan.

Persembahan pembuka majlis Pengkisahan Sejarah Masyarakat Mandailing di Malaysia, Sabtu lalu, membuka peluang kepada kalangan generasi muda suku kaum berkenaan untuk mengenali khazanah warisan budaya mereka.

Lalu tidak pelik apabila Kerajaan negeri Selangor Darul ehsan memilih Gordang Sembilan sebagai sebahagian daripada kesenian rasminya kerana ia turut membawa lambang perpaduan yang menjadi salah satu ciri khas masyarakat Mandailing. Salah seorang ahli panel majlis Pengkisahan sejarah Masyarakat Mandailing di Malaysia, Ashari Mohd Yakub, berkata hubungan sesama orang Mandailing begitu rapat biar di mana mereka berada.

"Orang Mandailing amat mementingkan hubungan sesama mereka dan tidak seperti orang Melayu yang akan bersifat seperti enau dalam belukar, melepaskan pucuk masing-masing," katanya.

Masyarakat Mandailing dikatan bertumpu ke Tanah Melayu kerana mereka adalah suku kaum yang suka merantau sama ada untuk mencari ilmu atau rezeki dan lazimnya mereka berpindah secara berkelompok berserta dengan pemimpinnya sekali.

Ramai juga orang Mandailing yang berpindah ke Tanah Melayu selepas tamat Perang Paderi (1816-1833M) kerana enggan berada di bawah telunjuk Belanda yang mahukan mereka mengusahakan ladang kopi.

"Mereka enggan menjual hasil tuaian kopi pada harga yang ditetapkan Belanda kerana dianggap merugikan dan kemelut itu memaksa sebahagian daripada masyarakat mandailing berpindah ke Klang," katanya.

Masyarakat Mandailing meskipun berasal daripada keluarga tani tetapi apabila berpindah ke Tanah Melayu turut muncul sebagai peniaga berjaya selain meneroka perlombongan bijih dan emas.

Ashari berkata, maklumat lisan yang beliau perolehi turut menunjukkan bahawa orang mandailing lebih dahulu menguasai bidang perlombongan bijih dan emas dan bukannya Yap Ah Loy.

"Yap ah Loy dikatakan merompak bijih milik orang Mandailing yang menjalankan kegiatan perlombongan di Perak ketika mereka membawa turun hasil dagangan ke Kuala Lumpur untuk dijual," katanya.

Seorang lagi ahli panel, Ahmad Mahidin Ulong Shaban, berkata Raja Alang dan Raja Asal adalah di antara pemimpin masyarakat Mandailing yang menguasai perlombongan bijih dan emas.

Taukeh bijih dan emas itu dikatakan mengambil Yap ah Loy bekerja dengan mereka bai memudahkan bekalan buruh pada harga yang murah diperolehi dari Tiongkok.

Ahmad Mahidin juga mendakwa masyarakat mandailing di awal perpindahan mereka di Tanah melayu, tidak berani mendedahkan jati diri suku kaumnya bagi menjamin peluang pendidikan di sekolah yang sama rata kepada anak masing-masing.

"Jika kami mengaku sebagai marga Mandailing, kami akan dilayan sebagai warga kelas kedua oleh penduduk tempatan dan tidak berpeluang untuk menghantar ana ke sekolah," ujarnya.

Seorang lagi ahli panel, Tengku salaturrahim Tengku alias dari Kampung kerangai, negeri Sembilan, pula berkata hubungan suku kaum mandailing yang begitu erat menyebabkan 'orang luar' tidak berani meminang anak-anak mereka.

Keadaan itu dikatakan berlaku diperingkat awal masyarakat mandailing bermukim di kampung terbabit dan mereka sendiri pula tidak akan meminang orng luar untu diterima sebagai ahli keluarga mereka.

"Bagaimanapun fenomena itu sudah berubah sekaran dan penduduk mandailing di Kampung Kerangai lebih kerap menerima menantu dari kalangan orang luar dan juga sebaliknya." Ujarnya.

Sungguhpun demikian, masyarakat Mandailing di kampung Kerangai sehingga hari ini masih mempertahan bahawa suku-kaum mereka dan menerima pendedahan bahasanya sejak dri tangisan pertma lagi.

Kanak-kanak mandailing di kampung terbabit hanya mula berkomunikasi secara meluas dalam bahasa melayu baku apabila mereka memulakan alam persekolahan dan peringkat awal akan dibantu oleh adik-beradik yang lebih dewasa.

Sementara itu, Ketua Pengarah Arkib negara, Datuk Habibah Zon, yang juba berasal dari marga Mandailing berkata sejarah suku kaum penting sebagai sumber pengetahuan, kefahaman dan mengingatkan asal usul sesuatu marga itu.

"Arkib Negara bersedia menerima mana-mana persatuan yang mahu menyumbang rekod mempunyai nilai sejarah tanpa mengira mereka dari suku kaum mana sekalipun," katanya ketika merasmikan pengkisahan berkenaan.

Majlis Pengkisahan Sejarah Masyarakat Mandailing di Malaysia anjuran arkib Negara dengan kerjasama Ikatan kebajikan Mandailing Malaysia (Iman Malaysia) itu bertujuan merekodkan maklumat tidak bertulis mengenai marga berkenaan.

Habibah yakin bahawa sejarah suku kaum boleh membantu sesuatu marga itu untuk membina kekuatan diri dan rasa bangga kepada apa yang mereka warisi sekalipun ketika berada dalam era siber.

"Rekod ini membolehkan berlangsungnya kesinambungan budaya dan bersifat kekal selain dapat membantu orang Melayu membina kekuatan jati diri sebagaimana yang dimanfaatkan bangsa lain.

Usaha memelihara warisan budaya bangsa perlu diperhebat memandangkan semakin ramai generasi muda yang tidak lagi mengenalinya, apalagi ketika budaya dari Barat begitu hebat melanda.

"Arkib negara kini sudah mempunyak koleksi Raja Bilah, salah seorang pemimpin masyarakat Mandailing yang berhijrah ke Tanah Melayu dan ia dipamerkan di pejabat kami, cawangan Papan," katanya.

Berita Harian 23 Mei, 2000

Kopi Mandheling


Mandheling

1945. Sebagai acara perpisahan, beberapa Tentara Jepang (TJ) mampir di kedai kopi pak Regar (PR).
TJ: Umai! (Enak) Kore doko kara? Dari, mana?
PR: (menyangka pak tentara menyebut Omae = kamu)
PR: Sahaja? Dari Mandailing, Tuan...
TJ: E? Nani? Mandeeringgu?
PR: Ya tuan. Mandailing tuan.
TJ: Ah, sou... (sambil manggut-manggut).

Sepuluh tahun kemudian, telepon luar negeri untuk Pwani, seorang makelar beken di tanah Sumatra, berdering di meja operator. Terjadilah transaksi mengapalkan 15 ton Kopi Arabika bermutu tinggi dari Sumatra ke Jepang, sebagai tonggak keberhasilan ekspor besar-besaran pertama, dengan label yang menginternasional sejak saat itu: Mandheling (yang sebenarnya bukan nama tempat, melainkan semata-mata plesetan nama kelompok etnik yang kebetulan paling terlibat dalam produksi kopi, Mandailing, yang saya masih penasaran apa hubungannya dengan Mandarin dan alat musik Mandolin).

Di Indonesia malah paling juga tahunya kopi Medan...
BTW: Ini hanya gosip dari Sumatra. Pada kenyataannya, jauh sebelum perang dunia II, dalam katalog grosir kodian Sears tahun 1903 tercatat "Java Mandailing" for sale. Saat itu, sudah umum untuk memanggil semua kopi Indonesia dengan Java-ini dan-anu (bukan berarti berasal dari Jawa).

... Terkenang sekaleng Mandheling,
mendukungku bergadang di lab saat-saat genting...
Sebagai makhluk yang
tak mampu membedakan Nescafe dengan Kapal Api,
ibarat menghadiahi mutiara kepada seekor sapi
(^-^; Belum paham apa enaknya...
Pahit gila! Tapi manjur lah...

There is a story, it might be myth or it might be true, about the origin of Mandheling coffee. It explains why if you are ever in Sumatra looking for these coffee fields on a map, you may never find them, because Mandheling is an ethnic group, not a town.

The story goes that during the Japanese occupation a soldier asked a shop owner what the excellent coffee was that he was being served. Misunderstanding the question and thinking he was being asked what HE was, the owner's reply was "Mandheling". After the war the soldier contacted a broker in Sumatra asking if the excellent coffee "Mandheling" was commercially available, and they shipped 15 tons of coffee to Japan that year. The rest, as they say, is history.

Of course Sumatra did not start producing coffee just because of this encounter. Coffee production began there in the 18th century under colonial domination in the northern region of Aceh before spreading to Lake Toba, Lintong, Nihuta, Sumbul and Takengon. The Mandheling are the Indonesian ethic group that is most involved in coffee production.

Over time Mandheling has gained a reputation for its consistent quality and its very specific cup qualities which include a desirable deep husky flavour.

Friday, July 13, 2007

Mandailing Natal Nikmati Sejuknya Atap Ijuk


Rumah Atap Ijok di Tamiang, Mandailing Julu

9 Juli 2007 Mandailing Natal, Sumut; Nikmati Sejuknya Atap Ijuk

Usia Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara memang baru seumur jagung. Namun sang ”bayi” punya cita-cita besar: menggali potensi ekowisata dari daerah seluas 662.070 hektare dan berpenduduk sekitar 370.000 jiwa ini. Ini sengaja dipilih karena pemkab Madina tak ingin memakai konsep pariwisata massal untuk mengelola obyek wisata daerah ini.

Bila kita melihat statistik mengenai lahan di wilayah Kabupaten Madina, sebagian besar memang masih berupa hutan. Rinciannya, hutan negara seluas 317.825 hektare (48 persen) yang hingga kini masih merupakan bagian terluas dari total lahan di daerah itu. Sisanya, yakni berupa hutan rakyat seluas 42.176 hektare atau hanya sekitar enam persen dari luas seluruh lahan, perkebunan sekitar 67.707 hektare, rawa-rawa 59.976 hektare, dan selebihnya merupakan areal persawahan, perladangan, tambak, permukiman, dan lain-lain.

Pengembangan ekowisata di daerah ini akan memanfaatkan zona penyangga dari Taman Nasional Batanggadis. Upaya ini diharapkan akan membuka peluang usaha bagi masyarakat lokal/sekitar kawasan. Namun, proses paling penting adalah menghargai usaha mereka mempertahankan kearifan lokal.

Wilayah Sibanggor terdiri dari tiga desa: Sibanggor Jae, Sibanggor Tonga dan Sibanggor Julu. Bila Anda berada di ketiga desa ini dijamin akan betah berlama-lama. Dengan kontur yang menaik, pemandangan desa dari tempat yang tinggi terlihat begitu cantik. Semuanya masih tradisional dan alami. Apalagi di desa Sibanggor Tonga dan Sibanggor Julu, rumah-rumah penduduk terlihat asli dengan gaya rumah panggung beratapkan ijuk.

Penduduk memakai ijuk sebagai bahan utama atap rumah karena di daerah ini udaranya banyak mengandung belerang. Bila memakai bahan seng, atap jadi cepat berkarat. Gas belerang datang dari kawah puncak Gunung Sorik Marapi (2.142 mdpl).

Dengan ijuk semuanya akan terlihat alami dan sekaligus mendukung cita-cita ekowisata. Untuk itu, pemkab Madina juga akan mengembangkan penanaman pohon enau. Tentu saja akibat dikeluarkan aturan itu harga ijuk akan melonjak. Hunian ijuk nan sejuk itu dapat dikembangkan sebagai pendukung cita-cita ekowisata Madina. Pemandangan deretan rumah penduduk amat sedap dipandang dari puncak bukit. Ini akan memancing minat para wisatawan.

Bila pengelola daerah jeli, masyarakat dapat membuka homestay di rumah-rumah mereka. Tak perlu dilengkapi fasilitas mewah yang bergaya metropolis, macam pendingin ruangan, lemari es atau lainnya. Namun, kunci utama homestay ini justru pada prinsip sanitasi dan keasrian yang dijunjung tinggi.

Bila sanitasi dan keasrian sudah dikantungi, jangan lupakan pula persoalan tarif. Sebagai promosi, hitung-hitungan hunian jangan terburu-buru untuk mematok harga tinggi. Itu sebabnya riset ekonomi wajib dilakukan pihak pemerintah kabupaten. Langkah berikut, tinggal membina masyarakat agar terbiasa menerima kunjungan turis – terutama, turis berselera ekowisata.

Di wilayah Sibanggor, kita dapat menemukan sumber-sumber air panas alami. Air panas yang kaya dengan kandungan belerang itu sangat bagus untuk menjaga kesehatan kulit. Penyakit kulit macam panu, kadas dan kurap kabarnya bisa diobati di sini.

Saat ini, tempat yang paling nyaman untuk menikmati air panas alami itu terletak di daerah Sibanggor Julu. Lokasinya ada di pinggir jalan. Di belakang sumber air panas menghampar pemandangan ”karpet hijau”. Dari sawah sampai rimba dan puncak Gunung Sorik Marapi. Bila cuaca mendukung, kita dapat memuaskan diri untuk memainkan kamera atau alat perekam gambar.

Di sini sudah terbangun beberapa fasilitas, seperti kolam pemandian, sarana mandi uap, WC umum, dan tempat ibadah. Sayang bangunan-bangunan ini tak mendapat perawatan khusus hingga kondisinya amat memprihatinkan, kecuali untuk tempat ibadah.
Saat ini kamar mandi uap dikelola oleh masyarakat sekitar. Tak ada retribusi khusus, tetapi cukup bayar sukarela kepada warga yang bertugas menjaga fasilitas ini.

Menurut Ilham Tanjung (43), fasilitas yang ada di tempat ini dibangun atas swadaya masyarakat dengan bantuan pemkab. Karena banyak yang berkunjung, masyarakat kedodoran untuk memelihara fasilitas yang ada.

Masalah sampah juga menjadi perhatian khusus. Di sekitar tempat berpotensi wisata ini tak tersedia tempat sampah. Jadi jangan kaget bila sisa buangan kegiatan manusia ini berceceran di tiap sudut. Paling kentara, ceceran plastik. Memang, sampah jenis ini butuh waktu yang lama untuk hancur. Mau tak mau supaya cita-cita ekowisata dapat terwujud, semua pihak harus turun tangan menangani masalah ini. Ekowisata boleh jadi cita-cita. Untuk mewujudkannya pekerjaan rumah telah menanti untuk diberesi. Bila serius cita-cita pun bisa tergapai dan paling penting punya nilai keberlanjutan tinggi. Selamat bekerja Madina. (rn)

http://www.perempuan.com/?ar_id=9078

Jelajahi Rimba Batang Gadis


Jelajahi Rimba Batanggadis
SH/bayu dwi mardana
Penentuan titik menarik di rimba Batanggadis.

BATANGGADIS – Rimba alami Batanggadis selalu menarik gairah petualangan siapa saja. Dengan bentang alam cukup lengkap—hutan hujan dataran rendah perbukitan, hutan pegunungan rendah dan hutan pegunungan tinggi—Batanggadis menyimpan keanekaragaman hayati cukup tinggi. Jadi penjelajahan pun dimulai dari sini.

”Stop! Stop, Bang!” seru Diah Rahayuningsih (26) memecah keheningan. Lengkingan suaranya jelas mengejutkan seisi mobil. Edi, supir perjalanan kami, segera memarkir mobil di tepi jalan. Seperti tak mau kehilangan waktu, Diah segera menyeruak keluar.
”Pelan-pelan, ya…. Coba itu lihat di pucuk dahan pohon buah,” bisik dara yang akrab disapa Sulis itu. Di sebelahnya, Ahmad Zulkani segera membidikkan kamera digital. Sedikit disimak lewat layar LCD, wartawan Kompas itu pun segera mengabadikan gambar. Tak lama ia tersenyum puas.

Ahmad pantas berbangga sebab posisi sepasang Rangkong di pucuk dahan tergolong langka. Apalagi sepasang burung rangkong (hornbill) yang sedang bercumbu itu cuma bertengger beberapa menit saja. Agaknya kedatangan membuat mereka merasa ”risih”. Maklum, karena jarang melihat kejadian ini kami sedikit ribut saat keluar dari dalam mobil.

”Di kawasan ini tercatat sembilan dari sepuluh jenis burung rangkong yang ada di Sumatera,” sebut Erwin Parbatakusuma dari Conservation International (CI) Indonesia yang ikut menemani penjelajahan ini. Ia cuma senyum-senyum saja melihat tingkah kami tadi. Rangkong memang menarik sebab ia punya paruh besar yang mirip tanduk. Di hutan alami kawasan Sumatera, burung-burung ini relatif mudah dijumpai – termasuk di kawasan Batanggadis.

Bakal Taman Nasional
Batanggadis adalah kawasan rimba alami yang berada di wilayah Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Kabupaten ini berpusat pemerintahan di kota Panyabungan.
Rencananya, awal tahun ini Batanggadis ditunjuk sebagai taman nasional. ”Targetnya, Februari. Kami cukup optimis kok,” tegas Ismayadi Samsoedin, Northern Sumatra Corridor Project Manager CI Indonesia sebelum kami memulai penjelajahan.

Perjalanan menuju rimba Batanggadis amat mengasyikkan. Perbedaan kontur ketinggian dengan jalan aspal berliku mengingatkan kita pada kawasan wisata Puncak, Cianjur, Jawa Barat. Hanya saja bedanya, perjalanan ke Batanggadis terasa kental dengan nuansa petualangan. Apalagi bila menembusnya dengan kendaraan gardan ganda, macam Land Rover. Wuih, gairahnya terasa sampai ubun-ubun.

Betapa tidak, di kiri-kanan jalan masih dominasi tutupan vegetasi hijau. Walau ada yang terlihat bolong-bolong oleh konversi lahan dan illegal logging, rimba Batanggadis termasuk kawasan alami yang masih tetap terjaga.

Saat menjelajahi rimba Batanggadis, Sulis bercerita soal kepedulian masyarakat untuk memproteksi kawasan yang masih tersisa itu. Jadi tak perlu heran bila usulan kawasan Batanggadis sebagai taman nasional justru datang dari masyarakat. Menariknya, pemerintah kabupaten merespons dengan bagus.

”Itu cerita yang bagus sebetulnya. Di Indonesia, usulan sebuah kawasan sebagai taman nasional kebanyakan datang dari (pemerintah) pusat. Jadi nggak usah heran kalau sering terjadi konflik dengan masyarakat sekitar kawasan,” papar Sulis yang bekerja sebagai Communication Specialist CI Indonesia.

Sorik Marapi
Petualangan lainnya adalah mendaki gunung Sorik Marapi (2.145 mdpl). Gunung ini masih termasuk rangkaian Bukit Barisan. Menurut catatan, gunung ini terakhir meletus pada 1982. Dalam perjalanan ke Batanggadis, kami sempat singgah ke kawasan Sorik Marapi.

Kalau ingin melakukan pendakian, disarankan melapor pada petugas Badan Meteorologi dan Geofisika yang berkantor di Sibanggor Tonga. Selain untuk keamanan kita, para petugas akan memberikan petunjuk jalur dan lainnya. Jalur paling enak lewat Sibanggor Julu. Kawah akan tergapai dalam tempo tiga jam perjalanan.

Walau tak begitu tinggi, pendakian ke puncak Sorik Marapi akan memberikan pengalaman menarik bagi wisatawan. Terlebih pemandangan hutan di kaki gunung masih terpelihara dengan baik dan kaya dengan beragam jenis satwa liar.

Kekayaan satwa liar rimba Sorik Marapi pernah didata oleh Mistar (Fakultas Biologi Universitas Medan Area) dan Sri Eva Meyli (Yayasan Kanopi, Medan) pada awal 2003. Lewat sebuah survei di desa Sibanggor Julu, Kecamatan, Aek Nopan – terletak pada 0o42’ 29. LU, 99o 34’ 03. BT dan tinggi 920-1500 mdpl – mereka menemukan sejumlah reptilia dan amfibi. Jumlahnya ada 8 famili, 13 marga, 15 spesies, dari dua bangsa (ordo) yaitu amfibia dan reptilia.

Pada bangsa amfibi diperoleh lima jenis dari tiga famili: Bufonidae (Bufo asper, Pelophryne sp.), Ranidae; (Fejervaria limnocharis, Rana erythraea, Rana nicobariensis), Rhacophoridae (Polypedates leucomystax). Sedang reptilia lima famili: Agamidae (Bronchocella chrystatella, Aphaniotis fusca), Gekkonidae (Cyrtodactylus lateralis), kadal Scincidae (Mabuya multifasciata), Ular Colubridae (Ahaetulla prasina, Pareas laevis, Ular sp1), Elapidae (Maticora bivirgata), Viperidae (Trimeresurus popeorum).

Survei itu juga menemukan satwa liar lain, seperti simpai (Presbytis melalophos), ungko (Hylobates agilis), siamang (Hylobates syndactylus), bajing kebun (Callosciurus notatus), Babi alang-alang (Sus scrofa) dan kijang (Muntiacus muntjac).

Kabarnya, penduduk masih menjumpai harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan orangutan (Pongo abelii). Yang terakhir ini konon sudah 30 tahun tak pernah dijumpai lagi. Survei terakhir (Wich, Utami & Singleton, 2000) tak menjumpai tanda-tanda kehadiran orangutan di sekitar Sungai Batanggadis.
Djojoasmoro (2003) melaporkan bahwa orangutan masih dijumpai di Cagar Alam Dolok Sibualbuali dalam kondisi yang kritis karena mengalami tekanan habitat dari penebangan dan perburuan liar.

Burung-burung juga banyak dijumpai di antaranya beberapa jenis elang melintas terutama di sekitar puncak belerang (Ictinaetus malayensis, Spizaetus kienerii), satu jenis rangkong juga sering terlihat melintas. (Lihat Boks: Burung-burung di Gunung Sorik Marapi)

Kini, kawasan gunung Sorik Marapi sebelah timur bagian utara atau sebelah barat desa Sibanggor Julu mengalami tekanan untuk penanaman jeruk. Di daerah tersebut telah dibuka lebih dari 25 hektar. Ini dilakukan atas inisiatif dan kesepakatan antarpemuka adat desa. Pasalnya, kebun jeruk di sekitar permukiman desa Sibanggor Julu telah rusak dan lahan telah mencapai kritis hara.

Menurut Nasution, warga Sibanggor Julu, jeruk memang tak lagi jadi primadona. Beberapa tahun belakang, kualitas hasil panen dirasakan terus menurun. Ia sendiri mengaku menelantarkan kebun jeruk di bekalang rumahnya. ”Ya, saya hidup dari uang pensiun saja,” tukas veteran perang kemerdekaan RI ini, tersenyum.
(SH/bayu dwi mardana/ darma lubis)

http://www.sinarharapan.co.id/feature/hobi/2004/0107/hob1.html

Sunday, July 8, 2007

Asal Usul Nagari Cubadak

ASAL USUL NAGARI CUBADAK
Oleh : Welina
Selasa, 13 Februari 07 - oleh : admin | x dibaca

NAGARI Cubadak Kecamatan Duo Koto adalah satu dari 32 Nagari di Kabupaten Pasaman. Nagari ini mempunyai luas wilayah 23.207 KM yang berbatasan dengan Nagari Simpang Tonang sebelah Utara, sebelah Selatan dengan Kecamatan Talamau Kab. Pasaman Barat, sebelah Timur dengan Kecamatan Panti dan Kecamatan Lubuk Sikaping, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Gunung Tuleh.

Nagari ini memiliki ciri khas tersendiri, yang tidak dimiliki oleh nagari lain. Penduduknya mayoritas Mandahiling. Bahasa yang digunakan Bahasa Mandahiling pula dengan logat terkenalnya kanen. Sementara dalam adatnya mereka memakai adat Minang Kabau. Dalam sistem perkawinan memakai adat sumando.

Hal ini sejarahnya diawali dari Pemerintahan pertama Raja Sontang beserta kaumnya di koto tinggi terletak 1,5 Km dari Ulu Sontang sekarang.

Raja pertama bernama Raja Gunung Maleha di Koto Tinggi selanjutnya Raja Sipahutar, kemudian Raja Labiah dan barulah sejak itu bernama Raja Sontang.

Raja-raja ini beserta kaumnya berbahasa Mandahiling dan adat istiadatnya Manjujur yaitu mengambil garis keturunan dari Bapak. Kata Sontang berasal dari kata Ontang yang berarti yang dibawa bersama-sama dan kemudian berubah menjadi kata Sontang dan rajanya pada waktu itu disebut Raja Sontang atau Raja yang disamakan.

Raja Sontang disamakan dgn Raja Lelo di Sikaduduk dan berubah adat istiadat menjadi adat istiadat Minang yang disaksikan oleh utusan khusus Raja Pagaruyung yang sengaja diutus kedaerah itu. Dan merubah adat istiadat dari Manjujur keadat istiadat Minang yaitu Sumando sementara bahasanya tetap bahasa mandahiling dengan logat yang khas.

Perpindahan Raja Sontang ke Cubadak dimulai setelah mendapatkan daerah temuan baru oleh pegawai raja yang bernama Sigadumbang. Bukit Sontang yang kemudian bernama Cubadak seterusnya Simpang Tonang, Silalang, Lanai Sinuangon dan lainnya. Karena wilayah baru lebih luas dari wilayah Sontang maka Tengku Raja Sontang pindah ke Cubadak. Maka jadilan Cubadak sebagai perkampungan besar, saat ini dengan jumlah penduduk 14.357 jiwa. Namun demikian Raja Sontang tetap datang ke Sontang. Saat ini yang menjabat Raja Sontang bertempat tinggal di Pasar Cubadak.

Karena Cubadak merupakan daerah temuan, maka Sontang adalah daerah “Natoras” dalam bahasa Indonesia artinya yang tua.

Nagari Cubadak secara topografi merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian 600 m dari permukaan laut dengan suhu rata-rata 25 s/d 270c.

Dari 14.357 jiwa penduduk terdiri dari 6.756 jiwa laki-laki, dan 7.601 jiwa perempuan dengan jumlah Kepala keluarga 3.361 KK, umumnya bekerja sebagai petani sawah, ladang dan dagang.

Dari Lubuk Sikaping Ibu Kota Kabupaten Pasaman menuju daerah ini sepanjang 56 Km dapat dilalui dengan jalan darat, waktu tempuh + 1 jam dengan kendaran roda empat dan roda dua.

Kesejukan udara di nagari ini seakan membuat masyarakatnya hidup tenang berkorong berkampung. Nagari ini terkenal dengan keramah tamahan penduduknya, suka bergotong royong dan kekerabatan antara satu dengan yang lain selalu terjalin dengan baik.
Adat istiadat yang diwariskan para pendahulu nagari ini masih terus terlestarikan. Sebut saja bahasa, tetap menggunakan bahasa Mandailing dan adat perkawinan sistem Sumando.

Sementara jika dilihat dari kesenian masyarakat setempat yang cukup terkenal Ronggeng, Dikia Rapano dan Silat, masih ditampilkan dan terlestarikan. Kesenian Ronggeng, Silat selalu tampil setiap ada penutupan lebaran hari raya idul fitri.

Kesenian tradisional yang selalu terlestarikan juga berimbas pada tetap terpertahankannya generasi muda setempat akan bahaya narkoba dan jenis penyakit masyarakat lainnya. Sehingga kehidupan sosial, ekonomi masyarakat di Nagari Cubadak yang dipadukan adat Mandahiling dan Minang masih berjalan dengan baik.

(***)
http://www.pasaman.go.id/?pilih=lihat&id=215

Sejarah

Nama Kabupaten Pasaman diambil dari nama sebuah gunung yang terdapat di daerah ini, yaitu gunung Pasaman. Selain itu juga terdapat sebuah sungai yang diberi nama Batang Pasaman. Kata Pasaman sendiri berasal dari kata PASAMOAN yang berarti kesepakatan dan atau kesamaan pendapat antar golongan etnis penduduk yang mendiami wilayah Pasaman yaitu Minangkabau, Mandahiling dan Jawa (Merah Putih di persada Pasaman, Pemda Pasaman, Agustus 1955)

Sebenarnya secara kultural cukup banyak perbedaan antar suku Minangkabau dan suku Mandahiling yang mendiamai daerah Pasaman. Perbedaan ini dibidang adat istiadat, bahasa, sikap dan perilaku hidup. Namun dibalik perbedaan itu terdapat pula banyak kesamaan dalam visi dan persepsi sehingga mereka dapat hidup berdampingan dalam kerukunan dan kedamaian.

Pasaman dalam usia lebih setengah abad telah dimekarkan menjadi 2 Kabupaten yakni Kabupaten Pasaman (Kabupaten Induk) dan Kabupaten Pasaman Barat (Kabupaten Pemekaran) berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2003. Sebelum pemekaran 3 kabupaten dalam Propinsi Sumatera Barat, Pasaman merupakan Kabupaten terluas dari 16 Daerah Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Barat yakni dengan luas 7.835,4 Km2 atau sekitar 18,55 % dari luas Propinsi Sumatera Barat yang luasnya 42.229,64 Km2. Setelah pemekaran luas Kabupaten Pasaman menjadi 3.947,63 Km2 yang terdiri dari 12 Kecamatan, 32 Nagari dengan jumlah penduduk tahun 2004 sebanyak 243.451 jiwa (Pasaman Dalam AngkaTahun 2004).

http://www.depdagri.go.id/konten.php?nama=Daerah&op=detail_kabupaten&id=72&dt=sejarah&nama_kab=Kab.Pasaman

Saturday, July 7, 2007

Kenali Si Calon Taman Nasional



Kenali si Calon Taman Nasional

PANYABUNGAN – Masyarakat Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara pantas berbangga. Kawasan rimba alami Batanggadis ternyata menarik perhatian sejumlah kalangan. Dari peneliti, pemerintah sampai petualang alam bebas ramai-ramai mendukung cita-cita melindungi kawasan ini. Rencananya akan menjadi taman nasional baru.

”Saya cukup takjub sebab masyarakat Madina ngotot dengan usulan kawasan (Batanggadis) sebagai taman nasional. Wah, ini termasuk langka,” ujar Ahmad Zulkani, rekan jurnalis dari Medan. Selama perjalanan menembus rimba Batanggadis, ia terus saja memandangi panorama sekitar.

Rasanya penobatan Batanggadis harus buru-buru diwujudkan. Tekanan illegal logging juga melanda kawasan ini. Kami sempat beberapa kali menemukan jalur pembalak liar tersebut. ”Ini harus kita laporkan ke Bupati (Amru Daulay) nih,” tegas Ahmad saat kami menemukan satu titik yang masih terdapat olahan kayu yang terlihat masih baru.

Menurut Ismayadi Samsoedin - Northern Sumatra Corridor Project Manager Conservation International (CI) Indonesia, kawasan yang diusulkan sebagai taman nasional termasuk Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanggadis. Luasnya sekitar 386.455 hektar atau 58,8% dari luas Kabupaten Madina.

Bagi masyarakat Madina, kawasan DAS Batanggadis sangat penting artinya sebagai water supply untuk mendukung kelangsungan hidup dan kegiatan perekonomian warga di 13 kecamatan. Warga lokal kebanyakan menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Itu dapat terlihat bahwa sebanyak 35% dari seluruh nilai PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) kabupaten disumbangkan dari sektor pertanian.

Tentu saja, kawasan alami itu amat penting untuk menjaga kualitas dan kelancaran pasokan air untuk keperluan air minum seluruh warga. Ketersediaan air juga menjamin untuk mengairi sawah rakyat 34.500 hektar maupun perkebunan rakyat. ”Itu sebabnya kawasan ini menjadi faktor yang krusial untuk dijaga fungsi hidrologinya,” timpal Diah Rahayuningsih, Communication Specialist CI Indonesia.

”Areal hutan alam yang masih asli seluas 108.000 hektar telah dialokasikan untuk dikelola secara intensif dan tersendiri lewat sistem pengelolaan taman nasional,” sebut Ismayadi. Diharapkan, hutan alam yang tersisa lebih dapat terkelola dengan baik dan terlindungi dari ancaman kegiatan-kegiatan manusia yang kontra-produktif dan tidak selaras dengan perlindungan kekayaan keanekaragaman hayati serta fungsi ekologis lainnya yang terkandung di dalamnya.

Dari rona fisik Kabupaten Madina yang terdiri 36% dari luas wilayahnya merupakan daerah pegunungan sampai ketinggian 2.145 meter dpl, jenis tanah yang rawan erosi dan longsor, curah hujan yang tinggi, dilalui patahan/sesar semangko, sehingga menjadikan kawasan ini rawan terjadi bencana alam, ketika terjadi perluasan hilangnya tutupan hutan alam.

Datang dari ”bawah”

Pengusulan kawasan rimba Batanggadis sebagai taman nasional sebetulnya datang dari ”bawah”. Masyarakat Madina didukung pemerintah kabupaten sama-sama bertekad untuk melindungi hutan alami yang masih tersisa. Apalagi beberapa waktu lalu terjadi tragedi Bahorok, di Kabupaten Langkat. Tragedi yang telah menewaskan lebih dari 140 jiwa manusia dengan kerugian finansial yang luar biasa makin membuka mata siapa saja.

”Sebetulnya jauh sebelum tragedi Bahorok terjadi rakyat kami sudah melihat pentingnya menjaga fungsi hutan alami,” ujar Amru Daulay, Bupati Kabupaten Madina saat ditemui beberapa waktu lalu. Rakyat selalu marah bila kawasan lindung itu diusik oleh kegiatan kontra produktif. Sebagai buktinya, Amru berkisah,” Pernah suatu ketika camat saya di Panyabungan membuka hutan untuk lahan pertanian, rakyat marah. Mereka protes soal pembukaan lahan karena bisa terjadi banjir.”

Walau proses penetapan taman nasional butuh waktu lama, Amru dan warga Madina sudah bertekad: sama-sama melindungi Batanggadis. Ini dibuktikan saat melewati malam pergantian tahun baru, mereka mendeklarasikan kawasan ini sebagai kawasan yang dilindungi. ”Yang jelas, hutan Batanggadis tak boleh dikonversi sebagai apa pun, termasuk oleh campur tangan pemerintah pusat,” tegas Amru bersemangat.

Calon Taman Nasional Batanggadis mempunyai bentang alam cukup lengkap, dari hutan hujan dataran rendah perbukitan (300 meter dpl), hutan pegunungan rendah dan hutan pegunungan tinggi sampai 2145 meter dpl di Puncak Sorik Merapi. Adanya variasi habitat yang tinggi punya konsekuensi tingginya kandungan keanekaragaman hayati.

Menurut riset biologi oleh Wich, et al. (2000) dan temuan peneliti lainnya, kawasan hutan alam yang diusulkan menjadi Taman Nasional di Kabupaten Madina punya nilai konservasi alam yang tinggi dan bernilai global. Ada beberapa alasan yang menyertainya. Yang pertama, ditemukan jenis mamalia langka dan dilindungi seperti Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Tapir (Tapirus indicus), dan kemungkinan Badak Sumatera (Dicerorhinus s sumatransis) atau Gajah Sumatera (Elephant maximus sumatranus). Jenis-jenis primata yang dapat ditemukan, seperti Siamang (Hylobates syndactylus), Lutung (Presbytis cristata), Gibon (Hylobates agilis), Beruk (Macaca nemestrina) dan Monyet Ekor Panjang (Macaca facscicularis).

Nilai konservasi kawasan tersebut semakin penting, karena ditemukan sembilan dari sepuluh jenis burung Rangkong (Hornbill) (Buceros spp, Anthracoceros spp, Anorrhinus spp, Aceros spp, Anthoceros spp,) yang ada di Sumatera. Itu mengindikasikan kesesuaian habitat bagi satwa pemakan buah. Selain itu dapat ditemukan pula 99 jenis burung.

”Memang, semua kekayaan keanekaragaman hayati Batanggadis masih bersifat kualitatif. Sampai sekarang, investasi riset keanekaragaman hayati secara kuantitatif belum pernah dilakukan di calon Taman Nasional Batanggadis,” sebut Erwin Parbatakusuma dari CI Indonesia. Itu sebabnya, dalam waktu dekat CI Indonesia akan menjelajahi rimba alami Batanggadis. Dan petualangan pun dimulai dari sini.
(SH/bayu dwi mardana/ darma lubis)

http://www.sinarharapan.co.id/feature/hobi/2004/0107/hob2.html

Marbled Cat Found in Batang Gadis National Park, Mandailing


Marbled cat (Pardofelis marmorata), Batang Gadis, Mandailing-Natal, Sumatra
Photograph by Jeremy Holden

Why is Marbled cat important to cat conservation?

The Marbled cat seems to be rare wherever it occur in its
geographic range that is Southeast Asia, Sumatra, and
Borneo. Rarely seen in the wild, all camera trap pictures
show the cat with its tail held stiffly and in a horizontal
position. It seems to occur in lowlands and in mountains
and is believed to be arboreal.

Virtually nothing is know of its habits in the wild. We have
far more information about Sumatran tigers that are thought
to be rare but in fact show up in more camera trap pictures
than Marbled cats.

www.smallcats.org/MarbledCatProject.html

Animal Info - Marbled Cat
(Other Names: Chat Marbré, Gato Jaspeado, Kucing Batu, Kucing Dahan, Kyaung Tha Lin, Machan Akar, Maew Laey Hin On, Marbel Biral, Marmorkatze, Shi Ban Mao, Shi Mao, Xiao Yun Bao)
Pardofelis marmorata (Felis m.)
Status: Vulnerable

--------------------------------------------------------------------------------

Contents
1. Profile (Picture)
2. Tidbits
3. Status and Trends (IUCN Status, Countries Where Currently Found, Taxonomy, Population Estimates, Distribution, Threats)
4. Data on Biology and Ecology (Size and Weight, Habitat, Age to Maturity, Gestation Period, Birth Season, Birth Rate, Early Development, Maximum Age, Diet, Behavior, Range)
5. References


--------------------------------------------------------------------------------

Profile
Pictures: Marbled Cat #1 (17 Kb JPEG) (IUCN Cat Spec. Gr.); Marbled Cat #2 (38 Kb JPEG) (Cat Act. Treas.); Marbled Cat #3 (39 Kb GIF) (Tigerhomes); Marbled Cat #4 (46 Kb JPEG) (IUCN Cat Spec. Gr.); Marbled Cat #5 (47 Kb JPEG) (Fauves du Monde)

The marbled cat is about the size of a domestic cat. Its head and body length is 45 - 62 cm (18 - 24") and it weighs 2 - 5 kg (4 - 11 lb). Its tail is extremely long and bushy. The background color of its fur varies from dark gray-brown through yellowish gray to red-brown. The flanks and back are strikingly marked with large, irregular, dark-edged blotches. The legs and underparts are marked with black dots, and the tail is marked with black spots and rings. There are spots on the forehead and crown, which merge into narrow longitudinal stripes on the neck and irregular stripes on the back.

The marbled cat is primarily an animal of moist tropical forest, but there is only anecdotal information on the specificity of its habitat requirements. The range of habitat types the species has been recorded in includes mixed deciduous-evergreen forest areas, mountainous evergreen forest, secondary forest, clearings, six-year-old logged forest, and Dipterocarp forest. It has been found from sea level to 3000 m (10,000'). Birds and/or rodents have been reported as likely forming a major part of its diet. Although previously the marbled cat was considered to be primarily nocturnal (Nowell & Jackson 1996), recent studies have shown that it can be cathemeral, with observations of the cat having been made throughout the day. Observations of marbled cats in the wild have indicated arboreal and terrestrial habits.

The marbled cat is found in northern India, Nepal, Guangxi and Yunnan provinces in China, and south through Cambodia, Laos, Myanmar, Thailand, Viet Nam, peninsular Malaysia, Sumatra (Indonesia), and Borneo. Throughout its range it is thought to be rare, although it has also been suggested that the perception of the marbled cat's rarity may be caused by its secretive nature and its preference for remote forest areas. Because of its dependence on forest habitat, the major threat to the marbled cat is habitat destruction caused by felling of trees and the traditional, shifting, "jhum" method of local cultivation. The marbled cat is also thought to be intolerant of human disturbance, abandoning a forest that is even moderately disturbed. Poaching for skins, bones and meat may also be a threat.


--------------------------------------------------------------------------------

Tidbits
*** Cat Tidbit #8: Cats can hear in the 65 - 70 kHz range, well above the human limit of 15 - 20 kHz. Cats do not produce ultrasonic calls, so their ability to detect these high-frequency sounds is probably related to hunting. Rodent ultrasound communication occurs in the 20 - 50 kHz range, so small cats are well equipped to detect the sounds of their prey. (Sunquist & Sunquist 2002) (See Cat Tidbit #9.)

*** Superficially, the marbled cat looks like a house cat, but it possesses an odd mixture of small cat and big cat characteristics. For example, with its enlarged canines, blotched coat pattern, and broad feet, it resembles the larger clouded leopard, (Sunquist & Sunquist 2002)


--------------------------------------------------------------------------------

Status and Trends
IUCN Status:
[The IUCN (International Union for the Conservation of Nature; also called the World Conservation Union) is the world’s largest conservation organization. Its members include countries, government agencies, and non-governmental organizations. The IUCN determines the worldwide status of threatened animals and publishes the status in its Red List.]

1986 - 1990: Indeterminate
1994: Insufficiently Known
1996: Data Deficient
2002 - 2005: Vulnerable; (Criteria: C2a(i)) (Population Trend: Decreasing) (IUCN 2005)
Countries Where the Marbled Cat Is Currently Found:
2005: Occurs in Brunei, Cambodia, China, India, Indonesia (Kalimantan, Sumatra), Laos, Malaysia, Myanmar, Nepal, Thailand and Viet Nam. May occur in Bangladesh and Bhutan. (IUCN 2005)

Taxonomy:
Recent genetic analyses have lead to the proposal that all modern cats can be placed into eight lineages which originated between 6.2 - 10.8 million years ago. The marbled cat is placed in the "bay cat lineage," which diverged from its ancestors as a separate lineage 10.8 million years ago. The bay cat lineage also includes the Asiatic golden cat and the bay cat. (Johnson et al. 2006)

Population Estimates:
[Note: Figures given are for wild populations only.]

WORLD
The marbled cat’s total effective population size is estimated at below 10,000 mature breeding individuals (IUCN 2005).
Distribution:
The marbled cat is found in northern India, Nepal, Guangxi and Yunnan provinces in China, and south through Cambodia, Laos, Myanmar, Thailand, Viet Nam, peninsular Malaysia, Sumatra (Indonesia), and Borneo. Throughout its range it is thought to be rare, although it has also been suggested that the perception of the marbled cat's rarity may be caused by its secretive nature and its preference for remote forest areas. It is rarely seen in the wild. (Nowell & Jackson 1996, Sunquist & Sunquist 2002, IUCN 2005)

Distribution Map #1 (2 Kb GIF) (Big Cats Online)
Distribution Map #2 (Showing the areas where the two subspecies of the marbled cat are found: 1) P.m. marmorata - Southeast Asia, 2) P.m. charltoni - Nepal) (24 Kb GIF) (Fauves du Monde)

Threats:
Because of its dependence on forest habitat, the major threat to the marbled cat is habitat destruction caused by felling of trees and the traditional, shifting, "jhum" method of local cultivation. The marbled cat is also thought to be intolerant of human disturbance, abandoning a forest that is even moderately disturbed. Poaching for skins, bones and meat may also be a threat. Other conservation issues include insurgency, straying into human habitation, and various developmental activities. (Sunquist & Sunquist 2002, Choudhury 2003)


--------------------------------------------------------------------------------

Data on Biology and Ecology
Size and Weight:
The head and body length of the marbled cat is 45 - 62 cm (18 - 24") and it weighs 2 - 5 kg (4 - 11 lb) (Sunquist & Sunquist 2002).

Habitat:
The marbled cat is primarily an animal of moist tropical forest, but there is only anecdotal information on the specificity of its habitat requirements. The range of habitat types the species has been recorded in includes mixed deciduous-evergreen forest areas, mountainous evergreen forest, secondary forest, clearings, six-year-old logged forest, Dipterocarp forest, and one animal that was described as living on a river cliff, which consisted of rocks overgrown with scrub and low bush. It has been found from sea level to 3000 m (10,000'). (Sunquist & Sunquist 2002, IUCN 2005)

The marbled cat is found in the Himalaya, Indo-Burma, and Sundaland Biodiversity Hotspots (Cons. Intl. 2005).

Age to Maturity:
21 - 22 months (captivity) (Sunquist & Sunquist 2002).

Gestation Period:
Estimated to vary from 66 - 82 days (captivity) (Sunquist & Sunquist 2002).

Birth Season:
Two litters were born in January and February; another in September (Sunquist & Sunquist 2002).

Birth Rate:
Litter size: 1 - 4 (captivity) (Nowell & Jackson 1996).

Early Development:
Captive kittens begin accepting meat at 121 days (Humphrey & Bain 1990).

Maximum Age:
At least 12 years and 3 months (captivity) (Sunquist & Sunquist 2002).

Diet:
Birds and/or rodents (such as squirrels and rats) have been reported as likely forming a major part of its diet, and possibly lizards and frogs are consumed (Sunquist & Sunquist 2002, Scott et al. 2004).

Behavior:
Although previously the marbled cat was considered to be primarily nocturnal (Nowell & Jackson 1996), recent studies have shown that it can be cathemeral, with observations of the cat having been made throughout the day and not indicating a crepuscular bias (Holden 2001). Observations of marbled cats in the wild have indicated arboreal and terrestrial habits (Grassman et al. 2005).

Range:
A female marbled cat who was radio-tracked for a brief period in the Phu Khieo Wildlife Sanctuary in Thailand was using an area of 5.8 sq km (2.2 sq mi) (Sunquist & Sunquist 2002).

http://www.animalinfo.org/species/carnivor/pardmarm.htm