Tuesday, July 3, 2007

Cita-cita Ekowisata dari Madina


SH/Darma Lubis
Pemandangan rumah beratap ijuk dengan latar belakang rimba Batanggadis.

Cita-cita Ekowisata dari Madina

MADINA – Usia Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara memang baru seumur jagung. Namun sang ”bayi” punya cita-cita besar: menggali potensi ekowisata dari daerah seluas 662.070 hektare dan berpenduduk sekitar 370.000 jiwa ini. Ini sengaja dipilih karena pemkab Madina tak ingin memakai konsep pariwisata massal untuk mengelola obyek wisata daerah ini.

”Saat ini kan tren yang sedang diminati adalah ekowisata dan orang makin jenuh dengan pariwisata massal,” ungkap Budi Ismoyo, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Madina. Rencananya prinsip ekowisata juga akan diterapkan untuk mengelola hutan yang mendominasi daerah ini.

Bila kita melihat statistik mengenai lahan di wilayah Kabupaten Madina, sebagian besar memang masih berupa hutan. Rinciannya, hutan negara seluas 317.825 hektare (48 persen) yang hingga kini masih merupakan bagian terluas dari total lahan di daerah itu. Sisanya, yakni berupa hutan rakyat seluas 42.176 hektare atau hanya sekitar enam persen dari luas seluruh lahan, perkebunan sekitar 67.707 hektare, rawa-rawa 59.976 hektare, dan selebihnya merupakan areal persawahan, perladangan, tambak, permukiman, dan lain-lain.

Ke depan, pemkab Madina Piha akan menyusun konsep pengelolaan pariwisata bersama masyarakat dan mitra, seperti Conservation International (CI) Indonesia – lembaga konservasi internasional papan atas. ”Yang pasti, pengelolaannya akan berkolaborasi dengan masyarakat,” timpal Erwin Perbatakusuma dari CI Indonesia.

Pengembangan ekowisata di daerah ini akan memanfaatkan zona penyangga dari (calon) Taman Nasional Batanggadis. Upaya ini diharapkan akan membuka peluang usaha bagi masyarakat lokal/sekitar kawasan. Namun, proses paling penting adalah menghargai usaha mereka mempertahankan kearifan lokal.

Hunian Ijuk nan Sejuk

Untuk membuktikan potensi ekowisata Madina, kami sempat mengunjungi Sibanggor.
Wilayah Sibanggor terdiri dari tiga desa: Sibanggor Jae, Sibanggor Tonga dan Sibanggor Julu. Bila Anda berada di ketiga desa ini dijamin akan betah berlama-lama. Dengan kontur yang menaik, pemandangan desa dari tempat yang tinggi terlihat begitu cantik. Semuanya masih tradisional dan alami. Apalagi di desa Sibanggor Tonga dan Sibanggor Julu, rumah-rumah penduduk terlihat asli dengan gaya rumah panggung beratapkan ijuk.

Penduduk memakai ijuk sebagai bahan utama atap rumah karena di daerah ini udaranya banyak mengandung belerang. Bila memakai bahan seng, atap jadi cepat berkarat. Gas belerang datang dari kawah puncak Gunung Sorik Marapi (2.142 mdpl).
Bicara rumah beratap ijuk, Bupati Madina Amru Daulay akan mengeluarkan keputusan yang mewajibkan penduduk untuk memakai ijuk sebagai atap rumah. ”Tahun ini kami akan mengeluarkan peraturan daerah yang melarang pembangunan atap rumah dari bahan seng,” tandas Amru.

Dengan ijuk semuanya akan terlihat alami dan sekaligus mendukung cita-cita ekowisata. Untuk itu, pemkab Madina juga akan mengembangkan penanaman pohon enau. Tentu saja akibat dikeluarkan aturan itu harga ijuk akan melonjak. Amru sadar akan hal ini. Sebagai antisipasi, Amru berujar, ”Jangan khawatir, bagi masyarakat yang kurang mampu akan kami beri subsidi.”

Hunian ijuk nan sejuk itu dapat dikembangkan sebagai pendukung cita-cita ekowisata Madina. Pemandangan deretan rumah penduduk amat sedap dipandang dari puncak bukit. Ini akan memancing minat para wisatawan.

Bila pengelola daerah jeli, masyarakat dapat membuka homestay di rumah-rumah mereka. Tak perlu dilengkapi fasilitas mewah yang bergaya metropolis, macam pendingin ruangan, lemari es atau lainnya. Namun, kunci utama homestay ini justru pada prinsip sanitasi dan keasrian yang dijunjung tinggi.

Bila sanitasi dan keasrian sudah dikantungi, jangan lupakan pula persoalan tarif. Sebagai promosi, hitung-hitungan hunian jangan terburu-buru untuk mematok harga tinggi. Itu sebabnya riset ekonomi wajib dilakukan pihak pemerintah kabupaten. Langkah berikut, tinggal membina masyarakat agar terbiasa menerima kunjungan turis – terutama, turis berselera ekowisata.

Air Panas Sibanggor

Di wilayah Sibanggor, kita dapat menemukan sumber-sumber air panas alami. Air panas yang kaya dengan kandungan belerang itu sangat bagus untuk menjaga kesehatan kulit. Penyakit kulit macam panu, kadas dan kurap kabarnya bisa diobati di sini.

Saat ini, tempat yang paling nyaman untuk menikmati air panas alami itu terletak di daerah Sibanggor Julu. Lokasinya ada di pinggir jalan. Di belakang sumber air panas menghampar pemandangan ”karpet hijau”. Dari sawah sampai rimba dan puncak Gunung Sorik Marapi. Bila cuaca mendukung, kita dapat memuaskan diri untuk memainkan kamera atau alat perekam gambar.

Di sini sudah terbangun beberapa fasilitas, seperti kolam pemandian, sarana mandi uap, WC umum, dan tempat ibadah. Sayang bangunan-bangunan ini tak mendapat perawatan khusus hingga kondisinya amat memprihatinkan, kecuali untuk tempat ibadah. Paling parah, WC umum yang tak lagi berfungsi, rusak dan kotor.

Fitri (17) siswi SMU Muara Sipongi - datang ke tempat ini bukan sekadar rekreasi. Bersama keluarganya, ia menikmati air panas itu sebagai terapi pengobatan pada bagian kulit. ”Kami pergi ke sini dengan menyewa mobil. Sekali jalan habis seratus ribu,” katanya. Pada dijumpai, Fitri asyik merebus telur ayam pada salah satu sumber air panas. Di dekatnya ada sekelompok remaja putri yang mengikuti jejak Fitri.

Saat ini kamar mandi uap dikelola oleh masyarakat sekitar. Tak ada retribusi khusus, tetapi cukup bayar sukarela kepada warga yang bertugas menjaga fasilitas ini. Menurut Ilham Tanjung (43), fasilitas yang ada di tempat ini dibangun atas swadaya masyarakat dengan bantuan pemkab. Karena banyak yang berkunjung, masyarakat kedodoran untuk memelihara fasilitas yang ada.

Masalah sampah juga menjadi perhatian khusus. Di sekitar tempat berpotensi wisata ini tak tersedia tempat sampah. Jadi jangan kaget bila sisa buangan kegiatan manusia ini berceceran di tiap sudut. Paling kentara, ceceran plastik. Memang, sampah jenis ini butuh waktu yang lama untuk hancur. Mau tak mau supaya cita-cita ekowisata dapat terwujud, semua pihak harus turun tangan menangani masalah ini.

Ekowisata boleh jadi cita-cita. Untuk mewujudkannya pekerjaan rumah telah menanti untuk diberesi. Bila serius cita-cita pun bisa tergapai dan paling penting punya nilai keberlanjutan tinggi. Selamat bekerja Madina.

(SH/bayu dwi mardana/darma lubis)

http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2004/0115/wis01.html

No comments: