Tuesday, July 3, 2007
Taman Nasional Batang Gadis: Momentum Mengukir Sejarah
Taman Nasional Batang Gadis : momentum mengukir sejarah
Berbagai bencana yang terjadi di Indonesia maupun di belahan dunia lain beberapa tahun terakhir ini tidak lepas dari kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh ulah manusia. Peristiwa banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan, dan sejenisnya telah berulang kali terjadi dan menjadi rekaman-rekaman peristiwa pilu yang terus menambah album dan arsip sejarah penderitaan akibat bencana. Bencana silih berganti terjadi, lembaran kisah pilu akibat bencana semakin menebal, tetapi sayangnya, ingatan kita yang teramat pendek membuat banyak di antara kita cepat lupa, semakin kebal dan bebal, sehingga tak lagi punya kemauan dan daya untuk melakukan refleksi, introspeksi, maupun aksi bersama untuk mencegah berulangnya bencana. Kerusakan lingkungan hidup akibat pembalakan hutan di Mandailing Natal beberapa tahun terakhir ini juga menyimpan potensi bencana yang sewaktu-waktu akan menggilas kehidupan kita. Apakah kita kembali mengikuti pola umum yang biasa berlaku, yaitu harus menunggu bencana itu datang dulu, baru berbuat sesuatu untuk mengatasinya ?
Adanya inisiatif Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal yang telah didukung oleh pemerintah pusat maupun organisasi-organisasi non-pemerintah untuk membentuk Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) di atas areal seluas 108.000 ha, bisa menjadi momentum bagi kita, khususnya orang-orang Mandailing, untuk kembali mengukir sejarah kepeloporan. Dukungan dari berbagai pihak, NGO dan lembaga donor internasional, untuk mewujudkan sebuah taman nasional di Kabupaten Mandailing Natal, dilihat dari konteks budaya kita, sama sekali tak pantas jika tak disambut dan didukung pula. Kita selalu menjunjung budaya malu, yaitu malu kalau kita tak berpartisipasi (patarida bohi) dalam hal berbuat kebaikan dan kebajikan. TNBG adalah sebuah wujud kebajikan untuk memelihara kelestarian lingkungan hidup, yang manfaatnya bukan saja untuk kita yang tinggal di daerah Mandailing Natal tetapi juga bagi kehidupan manusia sejagad. Karena itu, sesuai dengan budaya Mandailing dan ajaran agama Islam, kita pasti malu jika tak ikut mendukung sebuah usaha yang akan mencegah kita melakukan perusakan di muka bumi. Sepenggal cerita berjudul “Sada Alak Pulon Ta on Na Mabiar di Ahaila” (Seseorang Dari Pulau Kita ini Yang Takut Malu) dalam buku Sibulus-Bulus Sirumbuk-Rumbuk, kiranya menjadi cermin betapa kita harus malu kepada sesama jika kita tak mau menolong orang lain.
Bagaimana seharusnya kita (orang-orang Mandailing) merspon kehadiran TNBG ? Pertama, menurut hemat saya, respon yang harus kita berikan tiada lain adalah mendukung sepenuh hati dan kemampuan kita untuk mewujudkannya sehingga memberikan kemaslahatan dan manfaat bagi kehidupan. Kalau 150 tahun lalu Willem Iskander telah berjuang di bidang pendidikan untuk memberikan pencerahan bagi masyarakatnya, dan ia telah menoreh tinta emas di bidangnya; maka tiba giliran kita untuk menjadi pejuang penyelamat lingkungan di tengah-tengah arus derasnya kapitalisasi yang berwujud eksploitasi habis-habisan terhadap kekayaan alam di sekeliling kita bahkan di dunia. Kita masih beruntung karena masih memiliki sedikit lagi sisa hutan alam yang tersisa di Pulau Sumatera, dan karena itu masih punya kesempatan untuk menjaganya baik-baik dan mencegahnya dari kepunahan total sebagaimana yang sudah dialami daerah-daerah lain di Indonesia. Kita masih punya waktu untuk membiarkan anak cucu kita mengenal berbagai jenis burung seperti kak (rangkong) yang sudah hampir punah, sebelum semuanya hanya bisa kita saksikan sebagai sebuah produk animasi komputer seperti dinosaurus. Tetapi lebih dari itu, kita juga mempunyai peluang untuk menjaga agar sumber-sumber mata air bagi kehidupan kita tidak segera mati, yang apabila ia mati akan sekaligus mematikan peluang hidup bagi anak cucu kita. Sudah barang tentu kita tidak ingin tercatat dalam sejarah sebagai generasi yang rakus dan menghabiskan segala kekayaan alam yang ada sehingga tak tersisa sama sekali untuk bekal hidup generasi yang akan kita lahirkan; kecuali kita tidak berniat lagi untuk mengembang-biakkan atau meneruskan keturunan kita. Dengan kata lain, kita bertanggung jawab untuk menyisakan dan memberi ruang hidup bagi generasi-generasi mendatang yang akan menempati ruang hidup yang kita tempati dan “kuasai” sekarang.
Kedua, secara substantif, kehadiran TNBG sesungguhnya bukanlah sesuatu yang sama sekali baru bagi kita. Fungsi dan tujuan konservasi yang melekat dalam TNBG sudah menjadi bagian dari budaya kita di masa yang lalu, bahkan dalam konteks yang terbatas masih dipraktikkan oleh sebahagian dari masyarakat kita hingga sekarang dalam bentuk pengelolaan Lubuk Larangan. Kita mengenal istilah “rarangan” untuk menyebut apa yang sekarang sangat populer dengan istilah konservasi. Kita telah lama mengenal istilah “arangan rarangan” (hutan larangan), “lubuk rarangan” (lubuk larangan) dan lain sebagainya, yang oleh para pendahulu kita telah diatur sedemikian rupa dengan berbagai ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan adat. Ada ketentuan mengenai pemanfaatan kayu, perburuan binatang, pemanfaatan bahan tambang di dalam sungai, dan sebagainya dalam bentuk bungo ni padang, bungo ni hayu, bongo pasir, dll. Semua itu sudah pernah berlaku dan menjadi bagian dari sistem kehidupan masyarakat kita di masa lampau. Oleh karena itu, TNBG hanyalah replikasi atau wujud revitalisasi dari konsep “rarangan” yang sudah menjadi bagian dari kebudayaan Mandailing.
Ketiga, kehadiran TNBG yang akan dikelola secara kolaboratif dengan melibatkan warga masyarakat dan berbagai pihak yang berkepentingan secara setara dan adil, juga memberi peluang besar bagi kita untuk mengasah dan menguatkan kembali solidaritas sosial yang dalam istilah populer sekarang ini disebut dengan modal sosial (social capital). Kemajuan dalam pembangunan dapat dicapai dengan baik tidak hanya sebatas pengelolaan modal material. Kajian-kajian mutakhir memperlihatkan bahwa kelanggengan sebuah program pembangunan hanya dimungkinkan apabila di dalamnya juga diinvestasikan apa yang disebut modal sosial. Modal sosial itu terwujud dalam kemampuan kita untuk membina hubungan saling percaya satu sama lain, kemampuan kita untuk mengembangkan partisipasi yang setara dan adil, dan kemampuan kita merajut pranata atau aturan-aturan main dan menegakkannya secara adil dan konsisten. Komunitas-komunitas desa yang mengelola Lubuk Larangan di daerah Mandailing Natal sejak awal 1980-an, khususnya dalam kasus-kasus desa yang bertahan lama, membuktikan ampuhnya pendayagunaan modal sosial dalam pengelolaan sumberdaya alam milik bersama.
Model pengelolaan lubuk larangan oleh desa-desa yang ada di sekitar aliran sungai, terutama aliran Sungai Batang Gadis dan Sungai Batang Natal, yang sudah berlangsung apik sejak 1980-an, menjadi contoh teladan untuk direplikasi dalam pengelolaan sumberdaya lain. Sistem pengelolaan lubuk larangan yang berintikan pendayagunaan modal sosial itu bisa menjadi rujukan bagi kita dalam mengelola TNBG. Kalau pengelolaan lubuk larangan masih bersifat parsial, dan eksklusif dalam suatu desa, maka TNBG memberikan peluang bagi kita untuk mengembangkan sistem pengelolaan berbasis modal sosial dalam lingkup komunitas yang lebih luas, yaitu melibatkan komunitas-komunitas desa di lingkungan taman nasional, yang mencakup kurang lebih 70 desa. Karena pada intinya pengelolaan sumber daya alam berbasis modal sosial seperti yang dipraktikkan melalui Lubuk Larangan adalah implementasi dari kehidupan kemasyarakatan yang madani (civic community), maka dengan mewujudkan mozaik kehidupan masyarakat madani dalam konteks pengelolaan TNBG akan sekaligus bermakna sebagai kontribusi kita dalam mewujudkan “Kabupaten Madina yang Madani” sebagaimana yang selama ini dijadikan slogan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
angat setuju sekali pak..
sebagai putra daerah saya pribadi sangat sedih dengan keadaan madina belakangan ini, spertinya penduduknya sudah tidak perduli. seperti orang kampung saya sendiri yang tiap hari mencemari sungai AEK MATA dan pemerintah nya seolah - olah tutp mata dan tidak perduli.tiap hari berton - ton sampah dibuang kesuangai. saya sangat sedih melihatnya. dampai kapan hal ini akan kita biarkan.. ini masih sebagian kecil dari contoh ketidak pedulian kita dengan lingkingan kita sendiri. hanya sekedar ngomong dan mengomentari apa yang terjadi tanpa ada tindakan yan menenai sasaran.
Senang sekali mendengar diresmikannya taman nasional batang gadis. Bagi kami orang muarasoma hutan di hulu sungai batang natal dan aek sisoma adalah aset terbesar masyarakat. Karena aliran sungai batang natal merupakan urat nadi kehidupan masyarakat.
Post a Comment