Tuesday, July 3, 2007

Strategi Pengelolaan TNBG Secara Kolaboratif



STRATEGI PENGELOLAAN TNBG SECARA KOLABORATIF

Bagaimana mengelola TNBG ? Jawabnya bisa beraneka, dan tulisan ini tidak bermaksud mendesakkan suatu model yang dianggap paling baik dari yang lain. Hanya saja, menurut hemat saya, pengelolaan yang bersifat kolaboratif adalah sebuah keniscayaan sehingga semua pihak yang memiliki kepentingan dengan TNBG terakomodasikan kepentingannya secara adil dan proporsional. Para inisiator yang menggagas dan menghela gagasan tentang TNBG ini sudah barang tentu sudah memiliki kerangka yang menjadi rujukan pengelolaan ke depan.

Sekedar untuk memperkaya gagasan yang sudah ada dari para inisiator, di sini ingin disampaikan pelajaran yang bisa dipetik dari sistem pengelolaan Lubuk Larangan, sebuah sistem pengelolaan sumberdaya alam milik bersama yang boleh dikatakan sudah ajeg secara sosial budaya, ekonomis dan sampai batas-batas tertentu ajeg secara ekologis. Praktik-praktik pengelolaan Lubuk Larangan ini terdapat di banyak desa di Kecamatan Kotanopan, Muara Sipongi, dan Batang Natal, dan sebagian di antaranya tergolong cukup persisten dan berhasil. Dari penelitian yang pernah dilakukan mengenai pendayagunaan modal sosial dalam sistem pengelolaan Lubuk Larangan di Mandailing (lihat Zulkifli Lubis, 2001), diperoleh kesimpulan bahwa untuk bisa menumbuhkan dan membangun suatu kearifan dalam pengelolaan sumber daya alam seperti kasus lubuk larangan diperlukan adanya paling sedikit delapan langkah pengelolaan, yaitu :

(1) Menetapkan sumberdaya yang kongkrit sebagai subjek pengelolaan, yang bersifat aksesibel bagi suatu komunitas.
(2) Mengembangkan ide atau gagasan untuk pengelolaan sumberdaya tadi melalui proses partisipatif dan kemudian menetapkan sebuah pilihan cara mengatasi masalah
(3) Menemukan konsensus di antara para pihak (stakeholder) untuk mendapatkan komitmen dan dukungan atas pengelolaan sumberdaya
(4) Merumuskan tujuan pengelolaan, yang mungkin untuk dicapai dan dapat memenuhi kebutuhan bersama warga kolektif
(5) Menetapkan jaringan/satuan sosial yang menjadi konstituen pengelolaan, yaitu mereka yang akan menjadi partisipan aktif dalam proses pengelolaan dan pemanfaatan hasilnya
(6) Merajut pranata/institusi, baik berupa sistem nilai bersama, norma-norma dan sanksi-sanksi maupun aturan-aturan yang lebih teknis
(7) Membangun hubungan saling percaya (trust relation), berlandaskan adanya jaminan keadilan bagi semua pihak
(8) Melakukan siklus pendayagunaan modal sosial dengan membangun kekompakan atau kesatupaduan (cohesiveness) di kalangan jaringan/satuan sosial yang menjadi konstituen, yaitu meneguhkan pelaksanaan institusi, memupuk kepercayaan, dan seterusnya secara berulang/siklikal.

Pengelolaan Lubuk Larangan yang berhasil dan bertahan lama (persistent) dicirikan oleh kemampuan warga komunitas desa pengelola Lubuk Larangan untuk membangun hubungan saling percaya, mengembangkan pranata/aturan main yang adil, serta membangun jaringan sosial yang kompak; yang kesemuanya memberikan peluang bagi warga komunitas untuk mendapatkan manfaat dari pengelolaan. Siklus pendayagunaan modal sosial itu dapat dilihat dalam skema di bawah ini :

Skema 1. Hubungan antar elemen modal sosial
PRANATA

* nilai-nilai bersama
* norma & sanksi
* aturan-aturan

Kemurahan hati * * Keadilan
Toleransi* * Kolaborasi/Kerjasama
Sikap egaliter * * Solidaritas
* Kewajaran Resiprositas*
Kejujuran * * Partisipasi
KEPERCAYAAN JARINGAN SOSIAL

Berikut ini disajikan kerangka hipotetik hubungan siklikal pendayagunaan modal sosial dalam konteks Pengelolaan Kolaboratif TNBG, sebagai berikut:

(a) Kepercayaan (trust) dalam pengelolaan TNBG akan tumbuh apabila semua elemen sosial yang terlibat di dalamnya memiliki kejujuran, kewajaran, sikap egaliter, sikap toleran dan kemurahan hati.
(b) Dengan tumbuhnya kepercayaan di kalangan elemen sosial yang menjadi stakeholder, pengelolaan TNBG maka akan mudah pula digerakkan partisipasi, yang dilandasai oleh hubungan yang bersifat timbal balik (resiprositas), dan karena itu akan tumbuh pula solidaritas, dan dengan tumbuhnya solidaritas akan terbangunlah kerjasama (kolaborasi).
(c) Ketika sebuah kolaborasi mulai terwujud, ia harus dibingkai dengan pranata yang berisi nilai-nilai bersama berkenaan dengan TNBG, norma-norma, aturan-aturan dan sanksi-sanksi atas pelanggaran norma dan aturan. Dengan penegakan yang konsisten dan berkeadilan terhadap aturan yang disepakati bersama, maka akan semakin menguat pula hubungan saling percaya. Selanjutnya akan semakin kompak pula satuan/jaringan sosial yang menjadi konstituen pengelolaan, dan seterusnya.

Penutup
Masyarakat Mandailing memiliki khasanah kearifan budaya yang bisa didayagunakan dalam rangka pengelolaan kolaboratif TNBG. Filosofi dasar budaya Mandailing adalah holong (kasih sayang) dan domu (persatuan). Perjalanan waktu dalam menghadapi berbagai problem dan tantangan hidup, memang, membuat nilai-nilai budaya holong dan domu mulai tergerus dan terkikis sehingga sebagian masyarakat Mandailing mulai gamang untuk mengembangkan kolaborasi dalam mengelola sumberdaya milik bersama. Hubungan saling percaya menipis, dan semangat kebersamaan dan kekompakan berangsur pudar. Beriringan dengan itu, kepatuhan terhadap pranata berupa nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan yang ada juga cenderung mengendur. Bagaimanakah masa depan pengelolaan TNBG dalam siatuasi sosial budaya yang demikian ?

Tentu saja optimisme harus selalu dihidupkan. Kita masih mempunyai stok modal sosial yang bisa diinvestasikan ke depan, salah satunya yang masih dengan mudah terlihat dalam praktik pengelolaan Lubuk Larangan yang persisten. Mereka yang mengelola Lubuk Larangan juga tiba pada kemampuan untuk memupuk modal sosial justru dari langkah yang tertatih-tatih, kemampuan mereka bukan sesuatu yang given, melainkan diusahakan dengan penuh kesabaran dan kerja keras. Mereka memulai usahanya dengan menghidupkan kembali rasa kasih sayang (holong) dan persatuan atau kebersamaan (domu), lalu diimplementasikan dengan wujud partisipasi “ra-ro,ro-ra”. Kemudian dikuatkan dengan bangunan modal sosial yang berintikan kepercayaan, jaringan sosial yang kompak, dan pranata yang kuat, yang kesemuanya itu mewujud dalam bentuk pengelolaan yang berkeadilan bagi semua. Semua elemen modal sosial itu merupakan unsur-unsur substantif yang selaras dengan kebudayaan Mandailing maupun ajaran Islam, sehingga tidak akan menghadapi resistensi jika diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat Mandailing, termasuk ketika mereka akan menjadi bagian penting dalam pengelolaan TNBG ke depan.

Apapun bentuk atau kerangka organisasi pengelolaan TNBG yang akan kita buat dan implementasikan, hendaknya mesin organisasi itu selalu harus dilumasi dengan elemen-elemen modal sosial seperti disebutkan di atas. Menurut para ahli, modal material akan dengan mudah habis jika terus digunakan, tetapi sebaliknya modal sosial akan semakin banyak justru ketika ia digunakan terus-menerus. Modal sosial itu ada di dalam diri kita masing-masing, dan akan tumbuh subur apabila kita senantiasa memupuk rasa kasih sayang sesama, rasa kebersamaan, dan kemauan serta tindakan untuk bekerjasama.*****

No comments: