Saturday, July 14, 2007
Natal Duka Buat Orang Mandailing Kristian Pakatan
Mandailing Kristian di Pakantan
Korban Gempa
Natal Dibayangi Harap-harap Cemas
Kompas Minggu, 24 Desember 2006
Natal tinggal dua hari lagi. Namun, tak ada persiapan khusus yang dilakukan umat Kristen di Pakantan, Muara Sipongi, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara.
"Tak ada jamuan Natal tahun ini. Masuk gereja saja kami takut keruntuhan bangunan jika gempa terjadi," kata Tiroma boru Tupang (74), warga Dusun Huta Padang, Desa Pakantan.
Bangku-bangku gereja berjajar dalam tenda terpal biru di depan Gereja Kristen Protestan Angkola, Pakantan. Sudah sepekan terakhir puluhan warga tidur dalam tenda itu.
Gempa berkekuatan 5,6 skala Richter yang mengguncang Muara Sipongi, Mandailing Natal, Senin lalu, membuat warga trauma. Hingga kini, lebih dari 6.000 warga Muara Sipongi mengungsi. Sementara 2.000 warga lainnya menumpang di rumah sanak famili.
Pada malam hari tak terhitung warga yang tinggal di tenda-tenda. Lebih dari 700 rumah rusak dan tak layak ditempati lagi. Meskipun frekuensinya menurun, gempa susulan masih terjadi, termasuk di Pakantan.
Pakantan terletak 12 kilometer dari pusat gempa. Baru hari Kamis lalu akses masuk ke Pakantan terbuka setelah jalan terkubur longsoran tebing. Bagi masyarakat Mandailing Natal, Pakantan dikenal karena tradisi Kristen-nya yang sudah tua, sejak tahun 1834.
Hal itu bermula dari kedatangan seorang misionaris Belanda bernama Verhuven di daerah itu untuk mendirikan gereja. Verhuven datang dari Padang setelah berlangsung Perang Paderi tahun 1822.
Menurut sejarawan Mandailing, Pangaduan Lubis, misionaris Belanda itu kemudian bekerja di Angkola, daerah Padang Sidempuan, lalu ke Sipirok dan Tarutung. Di tengah masyarakat Mandailing Natal yang sebagian beragama Islam, terselip sedikit pemeluk Kristen di Pakantan. Kehidupan gereja di Pakantan berlangsung baik dengan komunitas yang mencakup 15 keluarga.
"Tahun 1940-an, jumlah jemaat mencapai 300-an orang. Tapi kini tinggal sedikit karena banyak yang pergi," kata Saut Nauli Nasution (43), warga Pakantan. Kerukunan dengan warga Muslim sangat guyub sebab mereka masih satu garis keturunan. "Kalau ada tetangga yang hajatan, semua membantu ramai-ramai," kata Saut.
Kebanyakan penduduk hidup sebagai petani. Jika mereka membutuhkan uang, barulah beras simpanan dijual. Makan bersama adalah sesuatu yang lumrah. Jika satu orang punya beras, yang lain punya lauk, mereka makan bersama-sama. Namun, Natal kali ini makan bersama belum direncanakan. Semua masih waswas adanya gempa susulan.
Meskipun rumah-rumah mereka yang terbuat dari kayu tak berubah saat diguncang gempa, warga masih takut masuk rumah, apalagi masuk gereja yang merupakan bangunan permanen. Kecemasan terutama menghantui para ibu dan anak- anak. Jika gempa datang saat acara kebaktian, kekhidmatan bisa buyar.
"Belum ada orang yang tengok kami," kata Tiroma. Menurut warga, baru Kepala Desa Pakantan yang memberi satu dus mi instan. Dalam sekejap, makanan itu habis meski sekitar 60 warga belum kebagian.
Tahun ini mereka merayakan Natal di bawah ancaman bahaya. (WSI/MHD)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0612/24/Natal/3196496.htm
Gordang Sambilan Populer Hingga Eropah dan Amerika Syarikat
Gordang Sambilan Populer
Hingga Eropa Dan AS
WASPADA Online
20 Des 06 09:43 WIB
GORDANG SAMBILAN salah satu pesona wisata di Kab. Mandailing Natal (Madina), salah satu warisan budaya bangsa Indonesia. Bahkan diakui pakar etnomusikologi sebagai satu ensambel musik teristimewa di dunia.
Sebagai alat musik adat dan sakral, Gordang Sambilan terdiri dari sembilan gendang. Ukuran besar dan panjang ke sembilan gondang itu bertingkat, mulai paling besar sampai paling kecil.
Tabung resonator Gordang Sambilan terbuat dari kayu yang dilubangi, dan salah satu ujung lobangnya ditutup dengan membran terbuat dari kulit lembu dan ditegangkan dengan rotan sebagai alat pengikat.
Untuk membunyikan alat kesenian itu digunakan pemu-kul terbuat dari kayu. Masing-masing gondang mempunyai nama sendiri. dan tidak sama di semua tempat di seluruh Madina, karena masyarakat Mandailing yang hidup dengan tradisi adat punya kebebasan untuk berbeda.
Instrumen musik tradisional ini dilengkapi dua buah ogung, satu doal dan tiga salem-pong atau mong-mongan. Juga dilengkapi alat tiup terbuat dari bambu dinamakan sarune atau saleot dan sepasang simbal kecil yang dinamakan tali sasayat.
Belakangan ini, Gordang Sambilan sudah ditempatkan sebagai alat musik kesenian yang merupakan salah satu warisan budaya tradisional Mandailing, serta sudah mulai populer di Indonesia bahkan di Eropa dan Amerika Serikat (AS).
Karena dalam beberapa lawatan kesenian tradisional Indonesia ke sejumlah negara, diperkenalkan Gordang Sambilan. Sedangkan orang Man-dailing yang banyak bermukim di Malaysia sudah mulai pula menggunakan Gordang Sam-bilan untuk berbagai upacara.
Dengan ditempatkannya Gordang Sambilan sebagai instrumen musik kesenian tradisional Mandailing, maka alat musik ini sudah digunakan untuk berbagai keperluan di luar konteks upacara adat Mandailing. Misalnya menyambut kedatangan tamu agung, pe-rayaan nasional dan acara pem-bukaan berbagai upacara besar serta haru raya Idul Fitri.
Bagi orang Mandailing, Gordang Sambilan merupakan adat sakral, bahkan dipandang berkekuatan gaib yang dapat mendatangkan roh nenek mo-yang untuk memberi pertolo-ngan melalui medium atau se-macam shaman yang dinama-kan Sibaso
Pada zaman animisme, Gordang Sambilan digunakan untuk upacara memanggil roh nenek moyang apabila diper-lukan pertolongannya. Upacara tersebut dinamakan Paturuan Sibaso (memanggil roh untuk menyurupi medium Sibaso).
Tujuannya meminta perto-longan roh nenek moyang, me-ngatasi kesulitan yang sedang menimpa masyarakat, seperti penyakit menular. Juga digunakan untuk upacara meminta hujan atau menghentikan hujan yang turun terlalu lama dan menimbulkan kerusakan.
Selain itu dipergunakan pula untuk upacara perkawinan yang dinamakan Horja Godang Markaroan Boru dan untuk upacara kematian yang di-namakan Horja Mambulungi
Penggunaan Gordang Sambilan untuk kedua upacara tersebut, karena untuk kepentingan pri-badi harus terlebih dahulu men-dapat izin dari pemimpin tradisional dinamakan Namora Natoras dan Raja sebagai kepala pemerintahan.
Oleh karena itu pada masa lalu, di setiap kerajaan di Man-dailing harus ada satu ensambel Gordang Sambilan yang ditem-patkan di Sopo Godang (balai sidang adat dan pemerintahan kerajaan), atau disatu bangunan khusus terletak di dekat Bagas Godang (istana raja).
Permohonan izin itu dilaku-kan melalaui suatu musyawarah adat yang disebut Markobar Adat yang dihadiri tokoh-tokoh Namora Natoras dan Raja berserta pihak yang akan menyelenggarakan upacara. Selain harus mendapat izin dari Namora Natoras dan Raja, untuk penggunaan Gordang Sambilan dalam kedua upacara harus disembelih paling sedikit satu ekor kerbau jantan dewasa.
Jika persyaratan tersebut tidak dipenuhi, maka Gordang Sambilan tidak boleh diguna-kan untuk upacara kematian (Orja Mambulungi) hanya dua buah yang terbesar dari in-strumen Gordang Sambilan yang digunakan, yang dinama-kan Jangat. Tapi dalam konteks penyelenggaraan upacara ke-matian dinamakan Bombat.
Penggunaan Gordang Sam-bilan dalam upacara adat diser-tai peragaan benda-benda ke-besaran adat, seperti bendera adat yang dinamakan tonggol, payung kebesaran dinamakan Payung Raranagan dan berbagai jenis senjata seperti pedang dan tombak yang dinamakan Podang dan Tombak Sijabut.
Gordang Sambilan juga dapat digunakan mengiringi tari yang dinamakan Sarama Penyatarama (orang yang melakukan tari sarama), kadang-kadang mengalami kesurupan pada waktu menari karena di-masuki oleh roh nenek moyang.
* Munir Lubis
http://www.waspada.co.id/cetak/index.php?article_id=81258
Semangat Mandailing Sekental Gordang Sembilan
Gordang Sambilan diperdengarkan pada sambutan perayaan Merdeka 2005
SEMANGAT MANDAILING SEKENTAL GORDANG SEMBILAN
IRAMA (Gordang Sembilan, salah sau kesenian masyarakt Mandailing dari Tapanuli Selatan, sumatera, yang memenuhi setiap ruang auditoriam Memorial Tunku Abdul Rahman Putra al-Haj, menyimpan pelbagai rahsia tersirat suku kaum ini.
Paluan sembilan gendang panjang, sebuah sesayak, gong (dua), canang (1) dan cak lempong (3) oleh guru pelatih Institut Bahasa Melayu Malaysia (IBMM) perempuan dan lelaki di bawah pemimpinan Mohd. Sharifudin Yusof, yang begitu bersemangat, seolah-olah mewakili kekentalan hubungan sesama orang Mandailing.
Tidak sia-sia, IBMM, menjadikan Gordang Sembilan sebagai salah satu program angkat-nya kerana nyata persembahan guru pelatih IBMM itu memikat tetamu.
Daya tarikan tersendiri, Godang Sembilan ini sehingga berjaya memikat seorng kanak-kanak berusia sekitar dua tahun untuk sama tenggelam dalam irama yang penuh bertenaga manakala khalayak dewasa pula tidak kedekut dengan tepukan.
Persembahan pembuka majlis Pengkisahan Sejarah Masyarakat Mandailing di Malaysia, Sabtu lalu, membuka peluang kepada kalangan generasi muda suku kaum berkenaan untuk mengenali khazanah warisan budaya mereka.
Lalu tidak pelik apabila Kerajaan negeri Selangor Darul ehsan memilih Gordang Sembilan sebagai sebahagian daripada kesenian rasminya kerana ia turut membawa lambang perpaduan yang menjadi salah satu ciri khas masyarakat Mandailing. Salah seorang ahli panel majlis Pengkisahan sejarah Masyarakat Mandailing di Malaysia, Ashari Mohd Yakub, berkata hubungan sesama orang Mandailing begitu rapat biar di mana mereka berada.
"Orang Mandailing amat mementingkan hubungan sesama mereka dan tidak seperti orang Melayu yang akan bersifat seperti enau dalam belukar, melepaskan pucuk masing-masing," katanya.
Masyarakat Mandailing dikatan bertumpu ke Tanah Melayu kerana mereka adalah suku kaum yang suka merantau sama ada untuk mencari ilmu atau rezeki dan lazimnya mereka berpindah secara berkelompok berserta dengan pemimpinnya sekali.
Ramai juga orang Mandailing yang berpindah ke Tanah Melayu selepas tamat Perang Paderi (1816-1833M) kerana enggan berada di bawah telunjuk Belanda yang mahukan mereka mengusahakan ladang kopi.
"Mereka enggan menjual hasil tuaian kopi pada harga yang ditetapkan Belanda kerana dianggap merugikan dan kemelut itu memaksa sebahagian daripada masyarakat mandailing berpindah ke Klang," katanya.
Masyarakat Mandailing meskipun berasal daripada keluarga tani tetapi apabila berpindah ke Tanah Melayu turut muncul sebagai peniaga berjaya selain meneroka perlombongan bijih dan emas.
Ashari berkata, maklumat lisan yang beliau perolehi turut menunjukkan bahawa orang mandailing lebih dahulu menguasai bidang perlombongan bijih dan emas dan bukannya Yap Ah Loy.
"Yap ah Loy dikatakan merompak bijih milik orang Mandailing yang menjalankan kegiatan perlombongan di Perak ketika mereka membawa turun hasil dagangan ke Kuala Lumpur untuk dijual," katanya.
Seorang lagi ahli panel, Ahmad Mahidin Ulong Shaban, berkata Raja Alang dan Raja Asal adalah di antara pemimpin masyarakat Mandailing yang menguasai perlombongan bijih dan emas.
Taukeh bijih dan emas itu dikatakan mengambil Yap ah Loy bekerja dengan mereka bai memudahkan bekalan buruh pada harga yang murah diperolehi dari Tiongkok.
Ahmad Mahidin juga mendakwa masyarakat mandailing di awal perpindahan mereka di Tanah melayu, tidak berani mendedahkan jati diri suku kaumnya bagi menjamin peluang pendidikan di sekolah yang sama rata kepada anak masing-masing.
"Jika kami mengaku sebagai marga Mandailing, kami akan dilayan sebagai warga kelas kedua oleh penduduk tempatan dan tidak berpeluang untuk menghantar ana ke sekolah," ujarnya.
Seorang lagi ahli panel, Tengku salaturrahim Tengku alias dari Kampung kerangai, negeri Sembilan, pula berkata hubungan suku kaum mandailing yang begitu erat menyebabkan 'orang luar' tidak berani meminang anak-anak mereka.
Keadaan itu dikatakan berlaku diperingkat awal masyarakat mandailing bermukim di kampung terbabit dan mereka sendiri pula tidak akan meminang orng luar untu diterima sebagai ahli keluarga mereka.
"Bagaimanapun fenomena itu sudah berubah sekaran dan penduduk mandailing di Kampung Kerangai lebih kerap menerima menantu dari kalangan orang luar dan juga sebaliknya." Ujarnya.
Sungguhpun demikian, masyarakat Mandailing di kampung Kerangai sehingga hari ini masih mempertahan bahawa suku-kaum mereka dan menerima pendedahan bahasanya sejak dri tangisan pertma lagi.
Kanak-kanak mandailing di kampung terbabit hanya mula berkomunikasi secara meluas dalam bahasa melayu baku apabila mereka memulakan alam persekolahan dan peringkat awal akan dibantu oleh adik-beradik yang lebih dewasa.
Sementara itu, Ketua Pengarah Arkib negara, Datuk Habibah Zon, yang juba berasal dari marga Mandailing berkata sejarah suku kaum penting sebagai sumber pengetahuan, kefahaman dan mengingatkan asal usul sesuatu marga itu.
"Arkib Negara bersedia menerima mana-mana persatuan yang mahu menyumbang rekod mempunyai nilai sejarah tanpa mengira mereka dari suku kaum mana sekalipun," katanya ketika merasmikan pengkisahan berkenaan.
Majlis Pengkisahan Sejarah Masyarakat Mandailing di Malaysia anjuran arkib Negara dengan kerjasama Ikatan kebajikan Mandailing Malaysia (Iman Malaysia) itu bertujuan merekodkan maklumat tidak bertulis mengenai marga berkenaan.
Habibah yakin bahawa sejarah suku kaum boleh membantu sesuatu marga itu untuk membina kekuatan diri dan rasa bangga kepada apa yang mereka warisi sekalipun ketika berada dalam era siber.
"Rekod ini membolehkan berlangsungnya kesinambungan budaya dan bersifat kekal selain dapat membantu orang Melayu membina kekuatan jati diri sebagaimana yang dimanfaatkan bangsa lain.
Usaha memelihara warisan budaya bangsa perlu diperhebat memandangkan semakin ramai generasi muda yang tidak lagi mengenalinya, apalagi ketika budaya dari Barat begitu hebat melanda.
"Arkib negara kini sudah mempunyak koleksi Raja Bilah, salah seorang pemimpin masyarakat Mandailing yang berhijrah ke Tanah Melayu dan ia dipamerkan di pejabat kami, cawangan Papan," katanya.
Berita Harian 23 Mei, 2000
Kopi Mandheling
Mandheling
1945. Sebagai acara perpisahan, beberapa Tentara Jepang (TJ) mampir di kedai kopi pak Regar (PR).
TJ: Umai! (Enak) Kore doko kara? Dari, mana?
PR: (menyangka pak tentara menyebut Omae = kamu)
PR: Sahaja? Dari Mandailing, Tuan...
TJ: E? Nani? Mandeeringgu?
PR: Ya tuan. Mandailing tuan.
TJ: Ah, sou... (sambil manggut-manggut).
Sepuluh tahun kemudian, telepon luar negeri untuk Pwani, seorang makelar beken di tanah Sumatra, berdering di meja operator. Terjadilah transaksi mengapalkan 15 ton Kopi Arabika bermutu tinggi dari Sumatra ke Jepang, sebagai tonggak keberhasilan ekspor besar-besaran pertama, dengan label yang menginternasional sejak saat itu: Mandheling (yang sebenarnya bukan nama tempat, melainkan semata-mata plesetan nama kelompok etnik yang kebetulan paling terlibat dalam produksi kopi, Mandailing, yang saya masih penasaran apa hubungannya dengan Mandarin dan alat musik Mandolin).
Di Indonesia malah paling juga tahunya kopi Medan...
BTW: Ini hanya gosip dari Sumatra. Pada kenyataannya, jauh sebelum perang dunia II, dalam katalog grosir kodian Sears tahun 1903 tercatat "Java Mandailing" for sale. Saat itu, sudah umum untuk memanggil semua kopi Indonesia dengan Java-ini dan-anu (bukan berarti berasal dari Jawa).
... Terkenang sekaleng Mandheling,
mendukungku bergadang di lab saat-saat genting...
Sebagai makhluk yang
tak mampu membedakan Nescafe dengan Kapal Api,
ibarat menghadiahi mutiara kepada seekor sapi
(^-^; Belum paham apa enaknya...
Pahit gila! Tapi manjur lah...
There is a story, it might be myth or it might be true, about the origin of Mandheling coffee. It explains why if you are ever in Sumatra looking for these coffee fields on a map, you may never find them, because Mandheling is an ethnic group, not a town.
The story goes that during the Japanese occupation a soldier asked a shop owner what the excellent coffee was that he was being served. Misunderstanding the question and thinking he was being asked what HE was, the owner's reply was "Mandheling". After the war the soldier contacted a broker in Sumatra asking if the excellent coffee "Mandheling" was commercially available, and they shipped 15 tons of coffee to Japan that year. The rest, as they say, is history.
Of course Sumatra did not start producing coffee just because of this encounter. Coffee production began there in the 18th century under colonial domination in the northern region of Aceh before spreading to Lake Toba, Lintong, Nihuta, Sumbul and Takengon. The Mandheling are the Indonesian ethic group that is most involved in coffee production.
Over time Mandheling has gained a reputation for its consistent quality and its very specific cup qualities which include a desirable deep husky flavour.
Friday, July 13, 2007
Mandailing Natal Nikmati Sejuknya Atap Ijuk
Rumah Atap Ijok di Tamiang, Mandailing Julu
9 Juli 2007 Mandailing Natal, Sumut; Nikmati Sejuknya Atap Ijuk
Usia Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara memang baru seumur jagung. Namun sang ”bayi” punya cita-cita besar: menggali potensi ekowisata dari daerah seluas 662.070 hektare dan berpenduduk sekitar 370.000 jiwa ini. Ini sengaja dipilih karena pemkab Madina tak ingin memakai konsep pariwisata massal untuk mengelola obyek wisata daerah ini.
Bila kita melihat statistik mengenai lahan di wilayah Kabupaten Madina, sebagian besar memang masih berupa hutan. Rinciannya, hutan negara seluas 317.825 hektare (48 persen) yang hingga kini masih merupakan bagian terluas dari total lahan di daerah itu. Sisanya, yakni berupa hutan rakyat seluas 42.176 hektare atau hanya sekitar enam persen dari luas seluruh lahan, perkebunan sekitar 67.707 hektare, rawa-rawa 59.976 hektare, dan selebihnya merupakan areal persawahan, perladangan, tambak, permukiman, dan lain-lain.
Pengembangan ekowisata di daerah ini akan memanfaatkan zona penyangga dari Taman Nasional Batanggadis. Upaya ini diharapkan akan membuka peluang usaha bagi masyarakat lokal/sekitar kawasan. Namun, proses paling penting adalah menghargai usaha mereka mempertahankan kearifan lokal.
Wilayah Sibanggor terdiri dari tiga desa: Sibanggor Jae, Sibanggor Tonga dan Sibanggor Julu. Bila Anda berada di ketiga desa ini dijamin akan betah berlama-lama. Dengan kontur yang menaik, pemandangan desa dari tempat yang tinggi terlihat begitu cantik. Semuanya masih tradisional dan alami. Apalagi di desa Sibanggor Tonga dan Sibanggor Julu, rumah-rumah penduduk terlihat asli dengan gaya rumah panggung beratapkan ijuk.
Penduduk memakai ijuk sebagai bahan utama atap rumah karena di daerah ini udaranya banyak mengandung belerang. Bila memakai bahan seng, atap jadi cepat berkarat. Gas belerang datang dari kawah puncak Gunung Sorik Marapi (2.142 mdpl).
Dengan ijuk semuanya akan terlihat alami dan sekaligus mendukung cita-cita ekowisata. Untuk itu, pemkab Madina juga akan mengembangkan penanaman pohon enau. Tentu saja akibat dikeluarkan aturan itu harga ijuk akan melonjak. Hunian ijuk nan sejuk itu dapat dikembangkan sebagai pendukung cita-cita ekowisata Madina. Pemandangan deretan rumah penduduk amat sedap dipandang dari puncak bukit. Ini akan memancing minat para wisatawan.
Bila pengelola daerah jeli, masyarakat dapat membuka homestay di rumah-rumah mereka. Tak perlu dilengkapi fasilitas mewah yang bergaya metropolis, macam pendingin ruangan, lemari es atau lainnya. Namun, kunci utama homestay ini justru pada prinsip sanitasi dan keasrian yang dijunjung tinggi.
Bila sanitasi dan keasrian sudah dikantungi, jangan lupakan pula persoalan tarif. Sebagai promosi, hitung-hitungan hunian jangan terburu-buru untuk mematok harga tinggi. Itu sebabnya riset ekonomi wajib dilakukan pihak pemerintah kabupaten. Langkah berikut, tinggal membina masyarakat agar terbiasa menerima kunjungan turis – terutama, turis berselera ekowisata.
Di wilayah Sibanggor, kita dapat menemukan sumber-sumber air panas alami. Air panas yang kaya dengan kandungan belerang itu sangat bagus untuk menjaga kesehatan kulit. Penyakit kulit macam panu, kadas dan kurap kabarnya bisa diobati di sini.
Saat ini, tempat yang paling nyaman untuk menikmati air panas alami itu terletak di daerah Sibanggor Julu. Lokasinya ada di pinggir jalan. Di belakang sumber air panas menghampar pemandangan ”karpet hijau”. Dari sawah sampai rimba dan puncak Gunung Sorik Marapi. Bila cuaca mendukung, kita dapat memuaskan diri untuk memainkan kamera atau alat perekam gambar.
Di sini sudah terbangun beberapa fasilitas, seperti kolam pemandian, sarana mandi uap, WC umum, dan tempat ibadah. Sayang bangunan-bangunan ini tak mendapat perawatan khusus hingga kondisinya amat memprihatinkan, kecuali untuk tempat ibadah.
Saat ini kamar mandi uap dikelola oleh masyarakat sekitar. Tak ada retribusi khusus, tetapi cukup bayar sukarela kepada warga yang bertugas menjaga fasilitas ini.
Menurut Ilham Tanjung (43), fasilitas yang ada di tempat ini dibangun atas swadaya masyarakat dengan bantuan pemkab. Karena banyak yang berkunjung, masyarakat kedodoran untuk memelihara fasilitas yang ada.
Masalah sampah juga menjadi perhatian khusus. Di sekitar tempat berpotensi wisata ini tak tersedia tempat sampah. Jadi jangan kaget bila sisa buangan kegiatan manusia ini berceceran di tiap sudut. Paling kentara, ceceran plastik. Memang, sampah jenis ini butuh waktu yang lama untuk hancur. Mau tak mau supaya cita-cita ekowisata dapat terwujud, semua pihak harus turun tangan menangani masalah ini. Ekowisata boleh jadi cita-cita. Untuk mewujudkannya pekerjaan rumah telah menanti untuk diberesi. Bila serius cita-cita pun bisa tergapai dan paling penting punya nilai keberlanjutan tinggi. Selamat bekerja Madina. (rn)
http://www.perempuan.com/?ar_id=9078
Jelajahi Rimba Batang Gadis
Jelajahi Rimba Batanggadis
SH/bayu dwi mardana
Penentuan titik menarik di rimba Batanggadis.
BATANGGADIS – Rimba alami Batanggadis selalu menarik gairah petualangan siapa saja. Dengan bentang alam cukup lengkap—hutan hujan dataran rendah perbukitan, hutan pegunungan rendah dan hutan pegunungan tinggi—Batanggadis menyimpan keanekaragaman hayati cukup tinggi. Jadi penjelajahan pun dimulai dari sini.
”Stop! Stop, Bang!” seru Diah Rahayuningsih (26) memecah keheningan. Lengkingan suaranya jelas mengejutkan seisi mobil. Edi, supir perjalanan kami, segera memarkir mobil di tepi jalan. Seperti tak mau kehilangan waktu, Diah segera menyeruak keluar.
”Pelan-pelan, ya…. Coba itu lihat di pucuk dahan pohon buah,” bisik dara yang akrab disapa Sulis itu. Di sebelahnya, Ahmad Zulkani segera membidikkan kamera digital. Sedikit disimak lewat layar LCD, wartawan Kompas itu pun segera mengabadikan gambar. Tak lama ia tersenyum puas.
Ahmad pantas berbangga sebab posisi sepasang Rangkong di pucuk dahan tergolong langka. Apalagi sepasang burung rangkong (hornbill) yang sedang bercumbu itu cuma bertengger beberapa menit saja. Agaknya kedatangan membuat mereka merasa ”risih”. Maklum, karena jarang melihat kejadian ini kami sedikit ribut saat keluar dari dalam mobil.
”Di kawasan ini tercatat sembilan dari sepuluh jenis burung rangkong yang ada di Sumatera,” sebut Erwin Parbatakusuma dari Conservation International (CI) Indonesia yang ikut menemani penjelajahan ini. Ia cuma senyum-senyum saja melihat tingkah kami tadi. Rangkong memang menarik sebab ia punya paruh besar yang mirip tanduk. Di hutan alami kawasan Sumatera, burung-burung ini relatif mudah dijumpai – termasuk di kawasan Batanggadis.
Bakal Taman Nasional
Batanggadis adalah kawasan rimba alami yang berada di wilayah Kabupaten Mandailing Natal (Madina). Kabupaten ini berpusat pemerintahan di kota Panyabungan.
Rencananya, awal tahun ini Batanggadis ditunjuk sebagai taman nasional. ”Targetnya, Februari. Kami cukup optimis kok,” tegas Ismayadi Samsoedin, Northern Sumatra Corridor Project Manager CI Indonesia sebelum kami memulai penjelajahan.
Perjalanan menuju rimba Batanggadis amat mengasyikkan. Perbedaan kontur ketinggian dengan jalan aspal berliku mengingatkan kita pada kawasan wisata Puncak, Cianjur, Jawa Barat. Hanya saja bedanya, perjalanan ke Batanggadis terasa kental dengan nuansa petualangan. Apalagi bila menembusnya dengan kendaraan gardan ganda, macam Land Rover. Wuih, gairahnya terasa sampai ubun-ubun.
Betapa tidak, di kiri-kanan jalan masih dominasi tutupan vegetasi hijau. Walau ada yang terlihat bolong-bolong oleh konversi lahan dan illegal logging, rimba Batanggadis termasuk kawasan alami yang masih tetap terjaga.
Saat menjelajahi rimba Batanggadis, Sulis bercerita soal kepedulian masyarakat untuk memproteksi kawasan yang masih tersisa itu. Jadi tak perlu heran bila usulan kawasan Batanggadis sebagai taman nasional justru datang dari masyarakat. Menariknya, pemerintah kabupaten merespons dengan bagus.
”Itu cerita yang bagus sebetulnya. Di Indonesia, usulan sebuah kawasan sebagai taman nasional kebanyakan datang dari (pemerintah) pusat. Jadi nggak usah heran kalau sering terjadi konflik dengan masyarakat sekitar kawasan,” papar Sulis yang bekerja sebagai Communication Specialist CI Indonesia.
Sorik Marapi
Petualangan lainnya adalah mendaki gunung Sorik Marapi (2.145 mdpl). Gunung ini masih termasuk rangkaian Bukit Barisan. Menurut catatan, gunung ini terakhir meletus pada 1982. Dalam perjalanan ke Batanggadis, kami sempat singgah ke kawasan Sorik Marapi.
Kalau ingin melakukan pendakian, disarankan melapor pada petugas Badan Meteorologi dan Geofisika yang berkantor di Sibanggor Tonga. Selain untuk keamanan kita, para petugas akan memberikan petunjuk jalur dan lainnya. Jalur paling enak lewat Sibanggor Julu. Kawah akan tergapai dalam tempo tiga jam perjalanan.
Walau tak begitu tinggi, pendakian ke puncak Sorik Marapi akan memberikan pengalaman menarik bagi wisatawan. Terlebih pemandangan hutan di kaki gunung masih terpelihara dengan baik dan kaya dengan beragam jenis satwa liar.
Kekayaan satwa liar rimba Sorik Marapi pernah didata oleh Mistar (Fakultas Biologi Universitas Medan Area) dan Sri Eva Meyli (Yayasan Kanopi, Medan) pada awal 2003. Lewat sebuah survei di desa Sibanggor Julu, Kecamatan, Aek Nopan – terletak pada 0o42’ 29. LU, 99o 34’ 03. BT dan tinggi 920-1500 mdpl – mereka menemukan sejumlah reptilia dan amfibi. Jumlahnya ada 8 famili, 13 marga, 15 spesies, dari dua bangsa (ordo) yaitu amfibia dan reptilia.
Pada bangsa amfibi diperoleh lima jenis dari tiga famili: Bufonidae (Bufo asper, Pelophryne sp.), Ranidae; (Fejervaria limnocharis, Rana erythraea, Rana nicobariensis), Rhacophoridae (Polypedates leucomystax). Sedang reptilia lima famili: Agamidae (Bronchocella chrystatella, Aphaniotis fusca), Gekkonidae (Cyrtodactylus lateralis), kadal Scincidae (Mabuya multifasciata), Ular Colubridae (Ahaetulla prasina, Pareas laevis, Ular sp1), Elapidae (Maticora bivirgata), Viperidae (Trimeresurus popeorum).
Survei itu juga menemukan satwa liar lain, seperti simpai (Presbytis melalophos), ungko (Hylobates agilis), siamang (Hylobates syndactylus), bajing kebun (Callosciurus notatus), Babi alang-alang (Sus scrofa) dan kijang (Muntiacus muntjac).
Kabarnya, penduduk masih menjumpai harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan orangutan (Pongo abelii). Yang terakhir ini konon sudah 30 tahun tak pernah dijumpai lagi. Survei terakhir (Wich, Utami & Singleton, 2000) tak menjumpai tanda-tanda kehadiran orangutan di sekitar Sungai Batanggadis.
Djojoasmoro (2003) melaporkan bahwa orangutan masih dijumpai di Cagar Alam Dolok Sibualbuali dalam kondisi yang kritis karena mengalami tekanan habitat dari penebangan dan perburuan liar.
Burung-burung juga banyak dijumpai di antaranya beberapa jenis elang melintas terutama di sekitar puncak belerang (Ictinaetus malayensis, Spizaetus kienerii), satu jenis rangkong juga sering terlihat melintas. (Lihat Boks: Burung-burung di Gunung Sorik Marapi)
Kini, kawasan gunung Sorik Marapi sebelah timur bagian utara atau sebelah barat desa Sibanggor Julu mengalami tekanan untuk penanaman jeruk. Di daerah tersebut telah dibuka lebih dari 25 hektar. Ini dilakukan atas inisiatif dan kesepakatan antarpemuka adat desa. Pasalnya, kebun jeruk di sekitar permukiman desa Sibanggor Julu telah rusak dan lahan telah mencapai kritis hara.
Menurut Nasution, warga Sibanggor Julu, jeruk memang tak lagi jadi primadona. Beberapa tahun belakang, kualitas hasil panen dirasakan terus menurun. Ia sendiri mengaku menelantarkan kebun jeruk di bekalang rumahnya. ”Ya, saya hidup dari uang pensiun saja,” tukas veteran perang kemerdekaan RI ini, tersenyum.
(SH/bayu dwi mardana/ darma lubis)
http://www.sinarharapan.co.id/feature/hobi/2004/0107/hob1.html
Sunday, July 8, 2007
Asal Usul Nagari Cubadak
ASAL USUL NAGARI CUBADAK
Oleh : Welina
Selasa, 13 Februari 07 - oleh : admin | x dibaca
NAGARI Cubadak Kecamatan Duo Koto adalah satu dari 32 Nagari di Kabupaten Pasaman. Nagari ini mempunyai luas wilayah 23.207 KM yang berbatasan dengan Nagari Simpang Tonang sebelah Utara, sebelah Selatan dengan Kecamatan Talamau Kab. Pasaman Barat, sebelah Timur dengan Kecamatan Panti dan Kecamatan Lubuk Sikaping, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Gunung Tuleh.
Nagari ini memiliki ciri khas tersendiri, yang tidak dimiliki oleh nagari lain. Penduduknya mayoritas Mandahiling. Bahasa yang digunakan Bahasa Mandahiling pula dengan logat terkenalnya kanen. Sementara dalam adatnya mereka memakai adat Minang Kabau. Dalam sistem perkawinan memakai adat sumando.
Hal ini sejarahnya diawali dari Pemerintahan pertama Raja Sontang beserta kaumnya di koto tinggi terletak 1,5 Km dari Ulu Sontang sekarang.
Raja pertama bernama Raja Gunung Maleha di Koto Tinggi selanjutnya Raja Sipahutar, kemudian Raja Labiah dan barulah sejak itu bernama Raja Sontang.
Raja-raja ini beserta kaumnya berbahasa Mandahiling dan adat istiadatnya Manjujur yaitu mengambil garis keturunan dari Bapak. Kata Sontang berasal dari kata Ontang yang berarti yang dibawa bersama-sama dan kemudian berubah menjadi kata Sontang dan rajanya pada waktu itu disebut Raja Sontang atau Raja yang disamakan.
Raja Sontang disamakan dgn Raja Lelo di Sikaduduk dan berubah adat istiadat menjadi adat istiadat Minang yang disaksikan oleh utusan khusus Raja Pagaruyung yang sengaja diutus kedaerah itu. Dan merubah adat istiadat dari Manjujur keadat istiadat Minang yaitu Sumando sementara bahasanya tetap bahasa mandahiling dengan logat yang khas.
Perpindahan Raja Sontang ke Cubadak dimulai setelah mendapatkan daerah temuan baru oleh pegawai raja yang bernama Sigadumbang. Bukit Sontang yang kemudian bernama Cubadak seterusnya Simpang Tonang, Silalang, Lanai Sinuangon dan lainnya. Karena wilayah baru lebih luas dari wilayah Sontang maka Tengku Raja Sontang pindah ke Cubadak. Maka jadilan Cubadak sebagai perkampungan besar, saat ini dengan jumlah penduduk 14.357 jiwa. Namun demikian Raja Sontang tetap datang ke Sontang. Saat ini yang menjabat Raja Sontang bertempat tinggal di Pasar Cubadak.
Karena Cubadak merupakan daerah temuan, maka Sontang adalah daerah “Natoras” dalam bahasa Indonesia artinya yang tua.
Nagari Cubadak secara topografi merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian 600 m dari permukaan laut dengan suhu rata-rata 25 s/d 270c.
Dari 14.357 jiwa penduduk terdiri dari 6.756 jiwa laki-laki, dan 7.601 jiwa perempuan dengan jumlah Kepala keluarga 3.361 KK, umumnya bekerja sebagai petani sawah, ladang dan dagang.
Dari Lubuk Sikaping Ibu Kota Kabupaten Pasaman menuju daerah ini sepanjang 56 Km dapat dilalui dengan jalan darat, waktu tempuh + 1 jam dengan kendaran roda empat dan roda dua.
Kesejukan udara di nagari ini seakan membuat masyarakatnya hidup tenang berkorong berkampung. Nagari ini terkenal dengan keramah tamahan penduduknya, suka bergotong royong dan kekerabatan antara satu dengan yang lain selalu terjalin dengan baik.
Adat istiadat yang diwariskan para pendahulu nagari ini masih terus terlestarikan. Sebut saja bahasa, tetap menggunakan bahasa Mandailing dan adat perkawinan sistem Sumando.
Sementara jika dilihat dari kesenian masyarakat setempat yang cukup terkenal Ronggeng, Dikia Rapano dan Silat, masih ditampilkan dan terlestarikan. Kesenian Ronggeng, Silat selalu tampil setiap ada penutupan lebaran hari raya idul fitri.
Kesenian tradisional yang selalu terlestarikan juga berimbas pada tetap terpertahankannya generasi muda setempat akan bahaya narkoba dan jenis penyakit masyarakat lainnya. Sehingga kehidupan sosial, ekonomi masyarakat di Nagari Cubadak yang dipadukan adat Mandahiling dan Minang masih berjalan dengan baik.
(***)
http://www.pasaman.go.id/?pilih=lihat&id=215
Sejarah
Nama Kabupaten Pasaman diambil dari nama sebuah gunung yang terdapat di daerah ini, yaitu gunung Pasaman. Selain itu juga terdapat sebuah sungai yang diberi nama Batang Pasaman. Kata Pasaman sendiri berasal dari kata PASAMOAN yang berarti kesepakatan dan atau kesamaan pendapat antar golongan etnis penduduk yang mendiami wilayah Pasaman yaitu Minangkabau, Mandahiling dan Jawa (Merah Putih di persada Pasaman, Pemda Pasaman, Agustus 1955)
Sebenarnya secara kultural cukup banyak perbedaan antar suku Minangkabau dan suku Mandahiling yang mendiamai daerah Pasaman. Perbedaan ini dibidang adat istiadat, bahasa, sikap dan perilaku hidup. Namun dibalik perbedaan itu terdapat pula banyak kesamaan dalam visi dan persepsi sehingga mereka dapat hidup berdampingan dalam kerukunan dan kedamaian.
Pasaman dalam usia lebih setengah abad telah dimekarkan menjadi 2 Kabupaten yakni Kabupaten Pasaman (Kabupaten Induk) dan Kabupaten Pasaman Barat (Kabupaten Pemekaran) berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2003. Sebelum pemekaran 3 kabupaten dalam Propinsi Sumatera Barat, Pasaman merupakan Kabupaten terluas dari 16 Daerah Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Barat yakni dengan luas 7.835,4 Km2 atau sekitar 18,55 % dari luas Propinsi Sumatera Barat yang luasnya 42.229,64 Km2. Setelah pemekaran luas Kabupaten Pasaman menjadi 3.947,63 Km2 yang terdiri dari 12 Kecamatan, 32 Nagari dengan jumlah penduduk tahun 2004 sebanyak 243.451 jiwa (Pasaman Dalam AngkaTahun 2004).
http://www.depdagri.go.id/konten.php?nama=Daerah&op=detail_kabupaten&id=72&dt=sejarah&nama_kab=Kab.Pasaman
Oleh : Welina
Selasa, 13 Februari 07 - oleh : admin | x dibaca
NAGARI Cubadak Kecamatan Duo Koto adalah satu dari 32 Nagari di Kabupaten Pasaman. Nagari ini mempunyai luas wilayah 23.207 KM yang berbatasan dengan Nagari Simpang Tonang sebelah Utara, sebelah Selatan dengan Kecamatan Talamau Kab. Pasaman Barat, sebelah Timur dengan Kecamatan Panti dan Kecamatan Lubuk Sikaping, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Gunung Tuleh.
Nagari ini memiliki ciri khas tersendiri, yang tidak dimiliki oleh nagari lain. Penduduknya mayoritas Mandahiling. Bahasa yang digunakan Bahasa Mandahiling pula dengan logat terkenalnya kanen. Sementara dalam adatnya mereka memakai adat Minang Kabau. Dalam sistem perkawinan memakai adat sumando.
Hal ini sejarahnya diawali dari Pemerintahan pertama Raja Sontang beserta kaumnya di koto tinggi terletak 1,5 Km dari Ulu Sontang sekarang.
Raja pertama bernama Raja Gunung Maleha di Koto Tinggi selanjutnya Raja Sipahutar, kemudian Raja Labiah dan barulah sejak itu bernama Raja Sontang.
Raja-raja ini beserta kaumnya berbahasa Mandahiling dan adat istiadatnya Manjujur yaitu mengambil garis keturunan dari Bapak. Kata Sontang berasal dari kata Ontang yang berarti yang dibawa bersama-sama dan kemudian berubah menjadi kata Sontang dan rajanya pada waktu itu disebut Raja Sontang atau Raja yang disamakan.
Raja Sontang disamakan dgn Raja Lelo di Sikaduduk dan berubah adat istiadat menjadi adat istiadat Minang yang disaksikan oleh utusan khusus Raja Pagaruyung yang sengaja diutus kedaerah itu. Dan merubah adat istiadat dari Manjujur keadat istiadat Minang yaitu Sumando sementara bahasanya tetap bahasa mandahiling dengan logat yang khas.
Perpindahan Raja Sontang ke Cubadak dimulai setelah mendapatkan daerah temuan baru oleh pegawai raja yang bernama Sigadumbang. Bukit Sontang yang kemudian bernama Cubadak seterusnya Simpang Tonang, Silalang, Lanai Sinuangon dan lainnya. Karena wilayah baru lebih luas dari wilayah Sontang maka Tengku Raja Sontang pindah ke Cubadak. Maka jadilan Cubadak sebagai perkampungan besar, saat ini dengan jumlah penduduk 14.357 jiwa. Namun demikian Raja Sontang tetap datang ke Sontang. Saat ini yang menjabat Raja Sontang bertempat tinggal di Pasar Cubadak.
Karena Cubadak merupakan daerah temuan, maka Sontang adalah daerah “Natoras” dalam bahasa Indonesia artinya yang tua.
Nagari Cubadak secara topografi merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian 600 m dari permukaan laut dengan suhu rata-rata 25 s/d 270c.
Dari 14.357 jiwa penduduk terdiri dari 6.756 jiwa laki-laki, dan 7.601 jiwa perempuan dengan jumlah Kepala keluarga 3.361 KK, umumnya bekerja sebagai petani sawah, ladang dan dagang.
Dari Lubuk Sikaping Ibu Kota Kabupaten Pasaman menuju daerah ini sepanjang 56 Km dapat dilalui dengan jalan darat, waktu tempuh + 1 jam dengan kendaran roda empat dan roda dua.
Kesejukan udara di nagari ini seakan membuat masyarakatnya hidup tenang berkorong berkampung. Nagari ini terkenal dengan keramah tamahan penduduknya, suka bergotong royong dan kekerabatan antara satu dengan yang lain selalu terjalin dengan baik.
Adat istiadat yang diwariskan para pendahulu nagari ini masih terus terlestarikan. Sebut saja bahasa, tetap menggunakan bahasa Mandailing dan adat perkawinan sistem Sumando.
Sementara jika dilihat dari kesenian masyarakat setempat yang cukup terkenal Ronggeng, Dikia Rapano dan Silat, masih ditampilkan dan terlestarikan. Kesenian Ronggeng, Silat selalu tampil setiap ada penutupan lebaran hari raya idul fitri.
Kesenian tradisional yang selalu terlestarikan juga berimbas pada tetap terpertahankannya generasi muda setempat akan bahaya narkoba dan jenis penyakit masyarakat lainnya. Sehingga kehidupan sosial, ekonomi masyarakat di Nagari Cubadak yang dipadukan adat Mandahiling dan Minang masih berjalan dengan baik.
(***)
http://www.pasaman.go.id/?pilih=lihat&id=215
Sejarah
Nama Kabupaten Pasaman diambil dari nama sebuah gunung yang terdapat di daerah ini, yaitu gunung Pasaman. Selain itu juga terdapat sebuah sungai yang diberi nama Batang Pasaman. Kata Pasaman sendiri berasal dari kata PASAMOAN yang berarti kesepakatan dan atau kesamaan pendapat antar golongan etnis penduduk yang mendiami wilayah Pasaman yaitu Minangkabau, Mandahiling dan Jawa (Merah Putih di persada Pasaman, Pemda Pasaman, Agustus 1955)
Sebenarnya secara kultural cukup banyak perbedaan antar suku Minangkabau dan suku Mandahiling yang mendiamai daerah Pasaman. Perbedaan ini dibidang adat istiadat, bahasa, sikap dan perilaku hidup. Namun dibalik perbedaan itu terdapat pula banyak kesamaan dalam visi dan persepsi sehingga mereka dapat hidup berdampingan dalam kerukunan dan kedamaian.
Pasaman dalam usia lebih setengah abad telah dimekarkan menjadi 2 Kabupaten yakni Kabupaten Pasaman (Kabupaten Induk) dan Kabupaten Pasaman Barat (Kabupaten Pemekaran) berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2003. Sebelum pemekaran 3 kabupaten dalam Propinsi Sumatera Barat, Pasaman merupakan Kabupaten terluas dari 16 Daerah Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Barat yakni dengan luas 7.835,4 Km2 atau sekitar 18,55 % dari luas Propinsi Sumatera Barat yang luasnya 42.229,64 Km2. Setelah pemekaran luas Kabupaten Pasaman menjadi 3.947,63 Km2 yang terdiri dari 12 Kecamatan, 32 Nagari dengan jumlah penduduk tahun 2004 sebanyak 243.451 jiwa (Pasaman Dalam AngkaTahun 2004).
http://www.depdagri.go.id/konten.php?nama=Daerah&op=detail_kabupaten&id=72&dt=sejarah&nama_kab=Kab.Pasaman
Subscribe to:
Posts (Atom)